12: Sierra Kenapa?

288 59 96
                                    

Luke

"Aku cuma nggak mau kamu sakit. Kamu nggak boleh sakit, apalagi sampe sedih. Kamu harus selalu baik-baik aja, Luke." Sebelah tangannya menyentuh pipi gue. Sore itu, di McDonald's Jalan Kemang Raya, seketika gue merasa jadi lelaki paling beruntung di dunia.

Perasaan itu—waktu ada seseorang yang bisa mengerti apa yang terbaik, yang terpenting untuk lo, takut akan sakit hati lo, peduli dengan gimana cara lo sembuh. Itu luar biasa.

"Luke."

"Hmmm?"

"Kenapa kamu masih mau sayang sama aku?" Gue tahu dia cuma ingin mendengar alasannya.

Nggak butuh lama untuk dengar gue menjawab. "Karena udah sayang dari awal ketemu," jawaban gue membuatnya tercenung. "Waktu aku lihat gimana sayangnya kamu sama keluarga kamu, gimana kamu peduli sama orang-orang di sekitar kamu tanpa mereka tahu, aku tahu kamu orang baik. Jadi sayang deh."

Sierra tersenyum lebar. Gue tahu dia merasa luar biasa. Benar, kan? Memang rasanya luar biasa saat ada seseorang yang bisa mengingatkan kebaikan lo saat lo kadang melupakannya.

"Makasih banyak, Luke," ia berkata sambil mengusap punggung tangan gue. "I love you."

Menurut gue, disayangi punya tanggung jawab lebih besar daripada menyayangi. Bertemu dengan seseorang yang begitu menyayangi lo kadang menakutkan, sebab lo takut nggak bisa menyayanginya sebesar itu juga. Lo takut gagal, dan gue merasakan itu sekarang. 

Gue takut nggak bisa menyayangi Sierra sebesar dia menyayangi gue. Makanya, gue ingin memastikan kalau dia akan selalu baik-baik aja bersama gue. Dengan begitu, gue bisa percaya diri, kalau gue nggak akan pernah nyakitin dia.

"Sie," kata gue pelan. "Aku juga sayang sama kamu."

Sierra tersenyum dan mengangguk mengiyakan perkataan gue. Mungkin dia udah bosen denger gue ngomong kayak gitu, tapi bodo amat lah.

"Tahu nggak? Aku lagi ada di posisi di mana aku sayang banget sama kamu sampai aku nggak mau kamu mikirin orang lain selain aku." Karena saat dia mengingatkan gue lagi dengan rencana pendidikannya ke luar negeri, ada rasa takut yang tumbuh semakin besar dalam diri gue. "Apapun yang terjadi, aku nggak mau kamu tinggalin aku."

Untuk pertama kali, gue mengucapkan kalimat paling egois pada seseorang.

✦✧

"Permisi, Pa," sapa gue sopan sambil sedikit menunduk saat bertemu Papa di ruang kerjanya.

"Masuk, Nak, masuk."

Siang ini, gue dipanggil ke ruangan Papa. Berhubung gue bekerja di perusahaan bokap gue sendiri, intensitas kami bertemu jadi semakin sering. Biasanya, kalau udah kayak gini, Papa bakal ngomongin tentang perkembangan project yang tim gue pegang dan bagaimana keadaan di lapangan saat ini. Mengingat gue adalah seorang project controller yang bekerja di bawah naungan project manager, rasanya wajar kalau Papa sering menanyakan itu pada gue sebagai anaknya.

Untuk beberapa lama kami ngobrol banyak tentang ini-itu. Berbeda dengan Papa yang betah ngebahas tentang project plan dan lain sebagainya, kali ini Papa justru mempertanyakan hal yang berbeda.

"Kamu masih berhubungan sama Sierra?" Papa kelihatannya berhati-hati saat menanyakan hal itu pada gue. 

"Masih, Pa."

Papa menghela napas panjang. "Terus ke depannya kalian mau kayak gimana? Kamu tahu sendiri kan gimana orang tuanya Sierra."

Lagi-lagi gue hanya mengangguk. Kami semua tahu bagaimana watak dari kedua orang tua Sierra, mereka teguh dengan pendirian mereka. Sekali ngomong A, ya udah, bakalan A terus sampe mentok.

Pekat | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang