15: Sengaja Ketemu

356 70 192
                                    

Luke

Kayaknya kalau lama-lama berdiam diri sendiri di sini nggak jelas, udah bakal muncul keriput kakek-kakek di pipi gue. Gimana nggak keriput? Gue nungguin orang buat dateng sekitar setengah jam, sebentar lagi bakalan lebih. 

Gue nggak tahu kenapa gue melakukan hal ini. Kalau bukan karena gue mau minta maaf dan mengibarkan bendera perdamaian, gue ogah banget buat nunggu lama-lama. Walau pun ini ruangan ber-AC dan makanannya enak, tetep aja nunggu itu nggak enak. Sejak kapan nunggu itu enak?

"Lama banget nih Si Calung," kata gue mulai bete sambil sesekali melihat jam tangan yang ada di pergelangan tangan kiri gue.

Iya, gue bakal ketemu sama Calung di salah satu restoran yang letaknya di dalam hotel. Biar keren sedikit. Oh iya, sejujurnya kalau inget nama Si Calung, gue jadi pengen nyanyi lagu almarhum Didi Kempot yang judulnya Kalung Emas.

"Calung emas sing ono gulumu, saiki wis malih dadi biru..." gue mulai bersenandung. "Luntur koyo tresnamu, luntur koyo atimu. Sak iki kowe lali karo aku."

Rest in peace, lord of broken heart, Pakde Didi Kempot.

Tanpa sadar, gue nyanyi-nyanyi sendiri nggak jelas. Untung suara gue nggak gede-gede amat, jadi nggak ada yang denger. Setelah sadar gue aneh, tiba-tiba nyanyi, gue kembali mengecek HP. Gue berharap gue dapet chat semacam sebentar lagi gue sampe atau gimana gitu, gue berharap ada konfirmasi. 

Jangan sampe gue udah capek-capek nunggu, dia malah pergi gitu aja. Lagaknya kayak fuck boy yang kecakepan aja.

"Ini kalau lima menit lagi dia nggak dateng, gue bakal cabut," lagi-lagi gue ngomong sama diri sendiri.

Lima menit berlalu sangat cepat, membuat gue segera bangkit dari kursi dan menganggap pertemuan dengan Calum batal. Baru saja gue hendak melangkah, tepat beberapa detik sebelumnya, orang yang gue tunggu-tunggu muncul.

Rambut hitam tebal, alis hitam tebal, dan wajah songongnya juga ikut-ikutan tebal. Siapa lagi kalau bukan Calum?

Saat dia melangkah ke arah meja yang sudah gue pesan, terpaksa gue harus menyambutnya dengan senyum menawan dan sok ramah. Gue emang senyum nggak ikhlas, tapi kayaknya Calum senyum dengan lebih ikhlas.

"Luke, sorry banget, tadi diajak ngobrol sama client pas mau on the way," katanya sambil menggaruk tengkuk lehernya. "Lo udah nunggu lama banget ya pasti?"

"Nggak apa-apa, santai aja, Pak." Jawab gue bohong, padahal mah aslinya gue pengen mencak-mencak. 

Calum menarik kursinya yang berada tepat di hadapan gue. Lalu setelahnya, gue menyodorkan buku menu, mempersilakan Calum untuk memesan makanan atau minuman terlebih dahulu. Berpikir kritis bersama gue itu perlu energi, jadi gue rasa dia butuh makan atau minum. Baik kan gue?

"Nih, lo pesen dulu," kata gue.

Pun ia mengangguk dan mengambil buku menu. Nggak perlu lama buat Calum nentuin pesenan, kurang dari lima menit ia sudah memanggil pelayan untuk mencatat pesanannya. "Wild mushroom soup, garlic bread, sama ice lemon tea, Mas. Semuanya satu."

"Baik, Mas," pelayan tersebut mencatat pesanan Calum. "Saya ulangi lagi, pesanannya satu wild mushroom soup, satu garlic bread, satu ice lemon tea. Ada tambahan lagi?"

"Tambah gado-gado satu sama martabak telor satu deh, Mas."

Setelah Calum selesai memesan, gue mulai ngajak ngobrol. Pembukaannya selalu sama, yaitu basa-basi. "Lo pesen banyak banget, itu segitu semua beneran abis?"

Calum terkekeh, "Nggak semuanya buat gue. Gado-gado sama martabak telornya buat kakak gue di rumah."

Ternyata Calum adalah laki-laki pecinta keluarga. "Oh, lo tinggal sama kakak lo?"

Pekat | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang