1: Terus Mau Gimana?

925 102 100
                                    

Luke

Terjebak berdua saja di dalam satu ruangan dengan orang yang kalian sayangi mungkin terdengar menyenangkan. Seperti keadaan gue yang sekarang, sama persis. Tapi, bedanya, gue nggak merasa senang. Justru gue merasa kamar gue makin sesak, padahal AC udah nyala daritadi.

"Terus mau kamu gimana, Luke?" Tanya wanita bermata cokelat gelap di hadapan gue, nada bicaranya semakin meninggi.

Gue enggan untuk langsung menjawab pertanyaan dari dia, otak gue terus berpikir keras untuk menentukan hal apa yang seharusnya gue lakukan ke depan. Jangan, jangan sampai salah langkah, Luke.

"Jawab aku, Luke!" Sekarang dia menggertak gue.

"Aku tetep nggak mau dan nggak setuju sama kamu, Sierra," akhirnya gue bicara lagi.

Bukannya mendapat jawaban, gue justru mendapatkan ia menjerit walaupun hanya dalam beberapa detik. Kedua tangannya mengepal dan ia meletakannya di antara kedua kepalanya, tertunduk lesu di pinggiran kasur.

"Kenapa, Luke? Aku masih pengin punya masa depan yang cerah!" Balasnya, masih dengan nada emosi. "Kamu nggak pengin aku sekolah tinggi? Kamu pengin masa depan aku hancur? Iya?!"

"Jaga omongan kamu, ya! Aku nggak pernah pengin hal-hal kayak gitu terjadi, nggak pernah," kali ini gue yang balas menggertak.

Wanita itu kembali menundukkan pundaknya dan menangis sejadi-jadinya. Tangisannya semakin pecah, makin bikin gue pusing. Untung keadaan rumah gue lagi sepi, jadi nggak ada yang denger.

Kali ini gue memilih untuk menurunkan ego dan mengalah. Gue duduk di sampingnya sembari mengatur emosi. Nggak, gue nggak boleh kebawa emosi.

"Kita cari jalan keluarnya bareng-bareng, oke?" Kata gue menenangkan.

"Gugurin aja, Luke. Itu jalan keluar terbaik."

Sierra, wanita yang sedaritadi terjebak di satu ruangan yang sama dengan gue, dengan pikiran dan perasaan yang kacau tentunya. Satu kata pertama yang keluar dari mulutnya barusan terus-terusan menjadi solusi dari masalah yang kami hadapi, menurutnya. Tapi, menurut gue itu bukan jalan keluar terbaik.

"Kenapa sih harus digugurin? Kita bisa ngerawat dia, Sierra," gue terus-terusan memberikan pembelaan. "Kalau kamu nggak mau, aku yang bakal ngerawat sendirian."

Sierra terkekeh meremehkan gue, "Kamu mau citra perusahaan orang tua kita rusak, Luke?"

"Kenapa yang ada di otak kamu cuma perusahaan Papa kita? Bisa nggak sih kamu mikirin hal yang lebih penting?"

"Perusahaan Papa kamu sama aku itu penting, Luke, mereka yang bikin kita hidup sampe sekarang. Sedangkan bayi yang ada di perut aku," dia menunjuk-nunjuk perutnya yang masih terlihat rata. "Dia bakal nyusahin kita, dia bakal bikin semuanya makin ribet."

Gue sontak membelalak mendengar ucapan Sierra yang menurut gue udah kelewat batas.

"Nggak, aku nggak mau ngurusin bayi ini. Aku mau gugurin dia."

"Kalo kamu nggak mau ngurusin, biar aku yang ngurusin," sanggah gue dengan tegas. "Urusan Papa atau apapun itu, urusan belakangan. Yang penting, aku mohon sama kamu, jangan gugurin dia."

Kali ini Sierra terdiam sejenak, dia nggak langsung menyambar pernyataan gue kayak sebelumnya.

Gue nggak tahu harus bagaimana ke depannya, tapi yang jelas gue nggak mau menggugurkan atau menelantarkan makhluk kecil itu begitu saja. Udah cukup dosa gue untuk melakukan hal yang seharusnya nggak gue lakuin, gue nggak mau nambah dosa lagi. Itu prinsip yang terus gue pegang dari awal, sehingga gue sungguh-sungguh tidak ingin Sierra menggugurkan bayi itu begitu saja. 

"Kalo gitu, aku juga mau putus dari kamu sekarang."

Pun gue membelalak, mulut gue sedikit terbuka, terkejut bukan main ketika mendengar pernyataan gila yang satu ini. "Sekarang? Kenapa nggak waktu kamu udah lahiran aja? Siapa yang bakal jagain kamu selama kamu hamil?"

"Kamu nggak mungkin berani ngasih tahu orang tua kamu," gue menambahkan dengan lirih.

"Terserah, Luke, terserah."

✦✧

Jalanan Ibu Kota Jakarta masih terbilang sepi di pagi hari. Dengan kecepatan normal, gue melajukan mobil ke arah Kemang untuk beli kopi. Setelah memarkirkan mobil di salah satu coffee shop favorit gue, pun gue bergegas masuk ke dalam dan memesan. 

"Hot Caramel Latte satu, atas nama Luke," ujar gue dengan cekatan, bahkan sebelum pelayan tersebut menanyakan siapa nama gue.

"Silakan ditunggu, Kak."

Sembari menunggu nama gue dipanggil, gue mengedarkan pandangan ke sekeliling coffee shop. Hanya ada beberapa orang yang duduk dengan laptopnya pagi ini dan beberapa karyawan yang sibuk bersih-bersih. Gue belum ada niatan buat duduk-duduk santai merenungi kehidupan di sini.

Nggak ada yang menarik pandangan gue, sampai akhirnya ada cewek yang tiba-tiba berdiri di samping gue. Nggak cuma itu, dia juga menggandeng seorang anak kecil, mungkin masih balita karena dia masih minum susu dari botol dan wangi bayinya sungguh sangat kental.

"Mbak, di sini ada lowongan kerja nggak?" Tanya cewek di samping gue ini.

"Untuk sekarang belum ada, Kak. Mohon maaf," jawab seorang karyawan yang entah dari mana munculnya.

"Beneran nggak ada, Mbak? Bukannya biasanya kalo di coffee shop tuh banyak lowongan kerjaan, ya?"

Buset, ngotot bener nih cewek. Batin gue dalam hati.

"Mohon maaf, Kak. Kami memang sedang tidak membuka lowongan pekerjaan," balas karyawan coffee shop itu dengan sabar.

"Yah, padahal kan saya butuh banget, Mbak. Abis lulu kuliah, belum dapet panggilan kerjaan lagi, nih."

Gue refleks melirik cewek ini dengan penuh heran, kenapa dia malah jadi curhat? Tadinya, gue nggak mau nguping, tapi kalo gini caranya sama aja gue denger pembicaraan mereka karena cewek ini ngomong dengan nada normal. Bukannya malah dipelanin atau gimana, dia malah curhat. Aneh.

"Mas, dengerin cerita saya terus, ya?" Ucapnya dengan tiba-tiba, ia juga mencolek pundak gue.

Dahi gue mengernyit dan gue membalas, "Gimana gue nggak denger? Suara lo cempreng banget kayak bedug masjid."

"Hah?" Ia balas mengangkat kedua alisnya dan sedikit memberi jarak dari gue. "Sejak kapan bedug masjid suaranya cempreng? Nggak pernah sholat nih orang."

Samar-samar gue mendengar kalimat terakhir dari ucapannya. "Apa hubungannya bedug masjid sama nggak pernah sholat?"

Cewek itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, ia menutup telinga kedua balita yang ada di depan tubuhnya sekarang. "Jangan dengerin dia ya, dek. Besok kalo udah gede, jangan ngegas kaya kakak ini."

Anjir?

Tepat setelah itu, dia pergi meninggalkan coffee shop begitu saja. 

"Atas nama Kak Luke!" Seru pelayan yang memanggil nama gue, bikin gue kaget.

Memberikan uang pas, pelayan itu lalu menyerahkan Hot Caramel Latte gue. "Lain kali kalo manggil jangan ngegas, Mbak. Bikin saya kaget," ucap gue sedikit sinis sebelum pergi.

✦✧


WKWKWK HAI???

Pekat | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang