14: Bersedihlah Secukupnya

365 61 132
                                    

Kaylee

Kalian semua pasti tahu kalau Hindia tanya di lagu Secukupnya, kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang? 

Gue bisa memastikan bahwa jawabannya adalah bukan hari ini, kemarin, kemarinnya lagi, atau besok. Jawaban itu nggak hanya berlaku untuk gue saja, tapi untuk laki-laki yang sedang terbaring lemas di kasurnya, masih memandangi bubur ayam yang gue belikan sejak tadi pagi. Gue bahkan nggak inget kapan bisa ngerasain tidur yang beneran tidur semenjak kejadian itu.

"Luke, dimakan dulu bubur ayamnya. Atau mau gue adukin sekalian?" Gue masih duduk di tepi kasur, terus membujuk Luke untuk memasukan setidaknya satu suap bubur ke mulutnya. "Lo kan tim bubur ayam diaduk."

Luke hanya menghela napas, tidak mengiyakan atau menolak tawaran gue barusan. Gue kembali menatap kedua bola mata biru lautnya yang masih sayu, paham bahwa memaksa Luke untuk makan di saat seperti ini akan menimbulkan penolakan besar-besaran dan juga keributan. Maka, gue juga tidak bisa berkutik, gue hanya bisa menunggunya.

Ini bukan hari pertama Luke susah makan, ini sudah terjadi sejak satu minggu yang lalu. Satu minggu yang lalu, gue sedang mengunjungi rumah kedua orang tua gue. Dengan hati yang masih nggak karuan pasca insiden Sierra yang datang ke rumah secara tiba-tiba, gue memberanikan diri untuk menghampiri keluarga gue.

Sebenarnya, alasan gue kembali ke rumah bukan untuk cerita itu semua, tapi karena kedatangan kakak laki-laki gue di akhir pekan, Kak Bisma. Tapi, tetep aja, walau niat awalnya cuma pengen ikutan nyambut Kak Bisma, gue tetep nangis di pelukan Mama.

"Ma..." Gue hanya merengek di pelukan beliau dan meneteskan air mata secara tidak sadar. Gue persis kayak bocah SD yang nangis karena abis berantem sama musuhnya di sekolah. 

"Kaylee, kamu kenapa ih? Udah gede kok masih aja nangis," Mama mengusap-usap kepala gue dengan sayang. "Jadi perempuan itu harus kuat." Katanya.

Harusnya memang seperti itu, Ma. Batin gue dalam hati. 

Di awal, gue ngerasa kalau gue akan kuat menjalani ini semua. Tapi ternyata kenyataan nggak semudah sama apa yang gue bayangin. Ombak yang ada di depan gue lebih besar dari ekspektasi gue, lebih dahsyat dari yang selama ini gue remehkan. Gue merasa belum berhasil... atau lebih tepatnya gagal?

Mama seperti bisa membaca pikiran gue, walau sedikit meleset, "Namanya juga rumah tangga. Belum jadi rumah tangga namanya kalau belum ribut-ribut kecil."

Seandainya aja Mama tahu kalau sebenernya gue nggak pernah memancing keributan, tapi emang Luke yang nggak ada akhlak. Gue pengen banget bisa ngomong yang sejujurnya ke Mama, namum gue sadar bahwa gue terlalu takut. 

"Nggak apa-apa, Kaylee," kata beliau entah untuk keberapa kalinya.

"Iya, Ma. Kaylee mungkin belum terbiasa aja," balas gue.

Gue nggak salah, kan? Sepertinya gue memang belum terbiasa dengan keadaan yang baru ini. Istilah lainnya, gue belum menguasai medan perang yang ada di hadapan gue sekarang. Tapi kalau udah kebiasaan, mungkin gue nggak akan selemah sekarang.

"Udah ah, jangan nangis. Malu ntar dilihat kakak kamu, terus ntar diledekin," kata Mama. Ia menarik beberapa helai anak rambut gue ke belakang telinga.

"Makasih ya, Ma."

Gue emang nggak bisa cerita semuanya ke Mama, tapi kalau udah denger kalimat penenang dari Mama, rasanya gue udah baikan. Seenggaknya gue udah dinggak-apa-apain sama Mama, itu udah cukup.

Pekat | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang