7: Dijemput Luke

379 68 177
                                    

Calum

Dulu gue sering banget ngatain teman-teman gue budak cinta. Gue heran tuh gimana Bagas bisa jadian sama ceweknya sejak SMA dan masih muji-muji dia, cerita sambil senyum nggak jelas tanpa ada tanda bosen sama sekali. Gue juga heran gimana Kevin masih nggak bisa move on dari cewek yang udah tinggalin dia dulu. Tian, meskipun kayaknya dia biasa aja, gue yakin dia masih kepikiran sama mantannya pas SMA. Kalau enggak, mana mungkin dia jomblo sampai sekarang? Nah, kalau Angga, cuma Tuhan sama dia doang yang tahu. Sejarah hidupnya terlalu misterius kayak Valak.

Tapi sekarang, kayaknya gue kena karma.

Pernah nggak sih lo deg-degan parah sampai sakit perut cuma karena ketemu orang? Pertama, tangan lo dingin waktu lihat dia ngobrol sama temannya di ujung jalan. Terus sebelum lo berani manggil namanya, kepala lo pusing. Nah, waktu dia nengok, jantung lo rasanya mau loncat keluar.

Apalagi pas dia nyamperin. Kelar udah.

Gue bahkan malu mendeskripsikan betapa menjijikannya diri gue ini. Tapi mau gimana lagi? Kalau bahasanya Bagas, "Susah kalau udah demen. Mau ada Gigi Hadid, kek, Gusi Hadid, kek, Dua Lipa, kek, Empat Lipa, kek, tetep cuma dia yang lo lihat."

Bahkan saat dia manggil nama gue, semua hal di sekitar langsung berhenti bergerak dan berbunyi. Yang bisa gue lihat dan dengar ya cuma dia.

Kaylee, kurang-kurangin, lah.

"Naomi, kamu ternyata masih laper, ya?" Ujarnya pada keponakan perempuan gue sambil membuka bungkus biskuit cokelat, terlalu dokus sama apa yang dia kerjakan sampai nggak sadar kalau sejak tadi gue menatapnya sambil minum susu Ultra cokelat. "Mas Calum udah makan?"

Gue paling suka kalau dia tiba-tiba bawel, dan itu cuma dia lakuin sama gue dan Naomi. Terkadang, dia bisa ngomel kalau gue belum menyentuh makan malam, dia juga bisa tiba-tiba pesenin gue siomay tanpa harus gue minta dulu, dia bahkan bisa nenteng susu Ultra cokelat ke mana-mana karena dia tahu itu minuman kesukaan gue dan Naomi.

"Mas?" Dia melambaikan tangannya di hadapan gue sampai-sampai mata gue berkedip cepat. "Bengong lagi, udah makan belum, Mas?"

"Udah kok tadi," jawab gue singkat.

"Aduh," dia mengaduh karena Naomi nggak sengaja melempar remahan biskuit ke arah wajahnya. "Pelan-pelan dong, sayang."

Naomi membersihkan wajah Kaylee dengan tangan kecilnya. "Maaf, Kakay."

Kakay, begitu Naomi memanggil Kaylee, pengasuh kesayangannya yang super sabar ini. Menurut gue, panggilan Kakay sebenarnya terdengar kayak namanya Kekeyi. Tapi, nggak apa-apa deh, Naomi kan masih kecil. Dia mana tahu siapa itu Kekeyi.

"Kok kamu bisa sabar banget sama Naomi, Kay?" Taya gue sambil menyedot minuman sampai habis. "Saya aja kadang nggak bisa."

Dia melirik gue dengan ujung mata sebelum tersenyum manis, "Nggak tahu juga, Mas. Abis Naomi cantik, sih."

"Pantes babysitternya juga ketularan cantik," celetuk gue.

"Apaan sih, Mas. Lagi belajar gombal, ya?"

Kami mengakhiri obrolan singkat nggak penting itu dengan tawa. Tapi dia nggak pernah tahu kalau gue ngomong dalam hati, "Ya emang selalu gitu, kan. Sekalipun gue serius, ujung-ujungnya lo bakal ketawa. Karena bagi lo, apa yang keluar dari mulut gue cuma bercanda."

Ah, Kaylee.

Kenapa sih lo nggak bisa kayak cewek lain, yang langsung nyengir atau ngerasa apa gitu waktu gue godain? Se-turn off itukah gue buat lo? Atau lo ngerasa omongan gue ke lo itu sama kayak omongan gue ke cewek lain?

Pekat | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang