13: Naomi Kangen Kaylee

365 65 155
                                    

Calum

Mungkin lo bisa mengerti seberapa besar arti seseorang di hidup lo saat bertemu lagi dengan mereka setelah sekian lama.

Gue memang bisa menghubungi atau bahkan menghampirinya kapan saja yang gue mau, kita masih di kota yang sama. Tapi rasanya gue tetap kehilangan dia. She is so close, yet so far as hell.

Sekarang, saat melihatnya lagi—cuma gue dan dia, dan keramaian Carrefour, rasanya ada yang mengalir dalam nadi. Seluruh sel di tubuh gue bereaksi. Tangan gue jadi dingin. Berbulan-bulan gue berjuang untuk nggak peduli, bilang sama diri gue sendiri kalau gue bisa lupain dia, dan sekarang gue malah berkhianat.

Dia berdiri tegap di depan salah satu rak snack—tempat snack kesukaan kita yang dulu biasa kita beli. Pandangan matanya memang lurus menatap ke arah rak, tetapi tatapan matanya kosong, nggak ada emosi yang terpancar di wajahnya.

Entah apa yang membuat gue nggak langsung berlari menghampirinya. Padahal gue juga yakin bahwa Naomi, bocah kecil yang sedang gue gendong saat ini, sama-sama melihat seseorang yang gue lihat. 

"Kakay!" Naomi memanggilnya dengan semangat, tapi suara mungilnya masih terkalahkan oleh keramaian tempat ini. "Om Calum, itu!" Naomi tak henti-hentinya menunjuk perempuan itu.

"Iya, Naomi." Kata gue.

Ada sesuatu yang membuat gue menunggu, menunggu, dan menunggu. Ada kenyamanan yang nggak bisa gue jelaskan saat melihatnya dari kejauhan seperti ini.

Akhirnya dia menoleh, mendapati keberadaan gue dan Naomi seolah dia merasakannya. Tapi rasanya sekarang kayak cuma ada dia dan gue. Kita. Semua yang ada di sekitar berhenti bergerak.

Cuma dia. Dan gue. Dan kita.

Seharusnya gue bisa menunggu lebih lama dari ini. Ternyata nggak bisa. Sekalipun gue menahan diri, kaki gue tetap melangkah ke arahnya. Diawali kecepatan yang sederhana. Sampai cepat, dan lebih cepat.

Kay, lo di sini lagi. Di hadapan gue.

Namun gue sadar, semakin gue mempercepat langkah kaki, semakin cepat juga Kaylee menghindari gue. Ia langsung pergi sesaat setelah ia menyadari bahwa gue melangkah mendekatinya.

"Cal, kamu nyari siapa?" Suara Farah membuyarkan gue.

"Eng—enggak, salah lihat orang aja," gue berbohong. "Mali mana?"

"Masih lihat-lihat promo susu bayi," jawabnya sambil menaruh beberapa barang belanjaan di troli.

Malam ini, gue dan Farah diminta Mali untuk nemenin dia belanja bulanan karena Abian lagi ada kerjaan di luar kota. Berhubung jadwal gue dan Farah sama-sama lagi selo, kami pun mengiyakan permintaan Mali.

Dulu gue nggak percaya kalau ada orang yang bilang "dunia itu sempit yah," karena mereka terus-terusan ketemu dengan orang yang sama. Tapi, untuk sekarang, rasanya gue harus mempercayai hal tersebut. Mungkin lebih tepatnya gue bakal bilang, "Jakarta makin sempit."

Pun gue menatap Naomi dengan harap-harap cemas. Gue berharap kalau Naomi nggak menyebut nama Kaylee atau bilang kalau dia abis ngelihat Kaylee barusan. Untuk beberapa menit ke depan, seenggaknya sampai kita semua selesai membayar barang belanjaan, doa gue terkabul.

Tapi kayaknya doa gue nggak benar-benar terkabul. Terlebih saat gue, Farah, dan Naomi berada di satu mobil yang sama, berpisah dengan Mali karena Mali harus mengambil berkas yang tertinggal di kantornya. Maka kakak perempuan gue pergi sendiri dengan mobilnya dan Naomi lebih memilih untuk ikut dengan gue.

"Om, Om Calum, tadi aku lihat Kakay loh!" Bocah itu lagi-lagi berseru dan sangat bersemangat.

Mungkin semangatnya hanya berlaku untuk Naomi, tapi tidak buat gue. Sekarang gue justru bingung harus bersikap seperti apa. Penyebabnya tidak lain tidak bukan adalah perempuan yang ada di bangku penumpang, di samping gue.

Pekat | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang