File No. 5

584 77 17
                                    

Ini sudah 2 jam berlalu sejak Cho Seungyoun disekap.

Dua kali setelah yang pertama terseret sepatu seseorang, abu rokok kembali jatuh membentur lantai yang diselimuti debu.

Mata Seungyoun bergerak kalut, merah dan sembab. Tak sejelas ketika kali pertama dia digeret ke tempat penuh benda-benda usang ini. Lampu yang temaram—seperti lampu-lampu di jalan tikus—tak sedikit pun membantu penglihatannya.

Seungyoun menenggadah ketika bara api kembali tersulut dari ujung puntung milik pria yang berdiri tak jauh dari jangkauanya. Hisapan demi hisapan seperti menuntut jantung Seungyoun untuk berdetak lebih gila. Kepulan asap yang dihembuskan juga semakin membuat tubuh Seungyoun gemetar hebat.

Beberapa kali mencoba berontak tapi percuma. Kedua tangan dan kaki Seungyoun dikunci mati. Empat orang menjagal, membatasi ruang geraknya.

Seungyoun pernah berteriak. Namun, suara tak kunjung keluar lantaran lidahnya tergelung oleh kain yang menjerat mulutnya.

Betapa humorisnya Tuhan melimpahkan situasi seperti ini padanya.

“Diam, bangsat!” salah satu dari pelaku menikam pergelangan tangan Seungyoun semakin kencang. Seungyoun memejamkan mata, menahan sakit yang menjalar ke seluruh tubuh ketika bagian sisi perut ditendang cukup keras.

“Udah gue bilangin berkali-kali tapi lo pura-pura budeg.” Suara tersebut sering didengarnya, tapi Seungyoun tak ingat siapa pemiliknya.

Saat Seungyoun membuka salah satu kelopak matanya, yang terlihat hanya siluet seorang perempuan. Rambut lurus sebahu si gadis menghalangi sorot lampu yang temaram,“Gue benci harus lakuin ini,” sambungnya kemudian perlahan berjongkok. Ketika jarak mulai terkikis, wajah yang tadinya samar berangsur-angsur jelas.

Bibir Seungyoun kebas. Ada perasaan menyangkal yang bergulat di benak.

Gak mungkin....

“Hai, Kak Seungyoun~” sapa si gadis menyungging senyuman polos,“Kak, gue harap setelah ini kakak gak bakal melakukan hal bodoh lagi. Kakak tuh gak boleh gini.” Ujung jari telunjuk yang lentik menelusuri lekuk wajah Seungyoun seolah dia adalah barang yang sangat ringkih.

“Suka sama cowok itu gak boleh kak. Dosa. Apalagi kalau cowok itu pacar gue. Kakak kan tahu sendiri, gue itu emosian. Gak bisa tolerir sama hal kayak gini.”

Hipokrit.

Memang yang dilakukan gadis itu sekarang, bukan dosa?

Jangan karena dosa yang mereka perbuat berbeda jadi orang bebas menghakiminya.

Seungyoun melemparinya tatapan kotor. Untuk sesaat rasa paranoid dalam diri Seungyoun menghilang.

“Ngapain lihatin gue begitu?” Tamparan keras pun tak terelakan. Pipi Seungyoun menjadi sasaran amukan.

“Gak usah natap jijik kayak gitu! Derajat lo tuh gak lebih rendah dari gue. Lo bahkan lebih menjijikan dari gue! Lebih murahan!”

Seungyoun bergeming. Meletakkan kepalanya pada lantai dengan dada yang kembang kempis. Napas berderu kasar. Pipi terasa terbakar.

Dia lelah.

Sungguh lelah.

“Benci banget gue liatnya. Terserah kalian deh mau ngapain dia.” Gadis itu tampak meredam luapan emosi, meninggalkan ruangan dengan perasaan gusar.

Sepeninggalnya, pukulan demi pukulan pun kembali menghujami tubuh Seungyoun. Sampai sakitnya tak berbekas. Sampai darah yang mengalir tak terasa. Sampai syaraf Seungyoun enggan untuk merespon. Terlebih ketika ujung putung rokok yang masih menyala menjilat kulit telapak tangannya.

The BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang