File No. 11

617 60 19
                                    

Warning: Homophobic! More drama. Sorry... Skip aja kalau alay :“)

***

“Ingus lo, Seungyoun. Ngalir kayak air terjun, njir.”

Seungyoun membulatkan mata saat Wooseok menunjuk hidungnya. Spontan, disedotnya ingus lekas-lekas sambil menunduk memeriksa dokumen yang tertindih kedua siku—ada jejak ingus atau tidak. Tawa renyah justru meledak dari mulut Wooseok. Seungyoun mengerutkan dahi begitu melihat tidak ada percikan ingus disana, kemudian dia meluluskan tatapan awas-lo-babi ke Wooseok. Pemuda itu tetap meraih berlembar-lembar tissue untuk diusapkan ke hidung bangirnya hingga warna yang semula pucat menjadi kemerahan.

Sudah dua hari ini Seungyoun terserang flu. Hampir setiap jam dia bersin tanpa aba-aba. Kadang sampai membuat rekan kerjanya terlonjak kaget. Sepertinya mereka terganggu, tapi tak satupun yang menyatakan keberatannya.

“Udah periksa ke dokter?”

“Dibiarin juga entar sembuh sendiri,” jawab Seungyoun seraya melempar tissue ke tong sampah yang terletak di sebelah kaki meja.

“Iya, sembuh, tapi gak tahu kapan.” Wooseok sampai memutar bola mata sembari mengangsurkan sebotol vitamin ke meja Seungyoun.

“Apaan tuh?”

“Dibaca lah, bambang.”

Seungyoun mencebik tetapi tangannya tetap menggapai botol vitamin itu. Satu butir tablet diambil lalu diteguk bersamaan dengan air mineral.

“Thanks.”

Tak ada sahutan. Namun Seungyoun dapat menangkap anggukan kecil dari sudut matanya ketika dia mengasung botol itu kembali pada empunya.

“Cuaca akhir-akhir ini kurang bagus. Lain kali bawa payung barangkali ujan dadakan.”

“Kemarin gue lupa bawa, tapi waktu itu cuma gerimis biasa sih. Pas nyampe rumah juga udah reda.” Seungyoun menjelaskan penyebab dia terjangkit pilek.

Saat mengingat -ingat kebelakangㅡ seperti tidak punya sopan santunㅡ bayangan Seungwoo tahu-tahu mendiami pikiran. Sejak momen keramat dua hari lalu, mereka tidak lagi bertukar kalimat. Jangankan ngobrol, bertemu pandang saja rasanya berat.

Ini yang disebut perang dingin.

Kendatipun demikian, diam-diam Seungyoun beberapa kali menangkap basah Seungwoo tengah memerhatikannya. Tatapannya kadang membuat punggung Seungyoun seperti dilubangi.

***

Sore hari ketika semua pekerjaan telah beres, tiba-tiba hujan mengguyur deras. Seungyoun menenggadah, menduga-duga kapan hujan akan berakhir. Pemuda itu berdiri linglung di teras gedung perkantoran sambil mengeratkan blazer cokelat susunya. Menghalau percikan air yang terbawa angin. Saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, tampaknya hanya dia yang tidak sedia payung.

“Mau kuantar sampai halte?”

Seungyoun agak terhenyak.

Segera setelah mendengar suara itu, Seungyoun menghentakkan kepala ke samping. Didapatinya Seungwoo telah berdiri menjejeri sambil membuka pengait payung.

Geez.... Ngapain sih. Lupa apa lagi musuhan?

Tak sepatah katapun terucap. Seungyoun justru memandanginya dengan air muka keruh. Alisnya mengkerut membentuk sebuah jembatan. Bibir tergulum hingga hanya terlihat segaris.

Lelaki itu menyodorkan gagang payung pada Seungyoun tanpa dosa. Seolah-olah kejadian tempo lalu itu tidak pernah terjadi. Seolah-olah keduanya itu memang tidak pernah bertikai. “Atau kamu bisa ambil payungnya.”

The BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang