File No. 3

623 75 14
                                    

Akhir bulan. Sekitar tanggal 28 sampai 5 adalah hari paling sibuk sepanjang masa. Hari-hari stress para staf dimana mereka tidak akan bisa makan dan tidur dengan tenang. Jangankan makan, memandang hidangan menggiurkan melintas di atas troli Pak Kang saja enggan. Kalah menarik dengan tumpukan kertas dan layar monitor.

Biasanya suasana kantor pada tiap divisi terasa suram, berantakan, dan kadang tercium bau-bau orang depresi. Tengok lah satu persatu kubikel maka akan muncul penampakan manusia dengan sepasang kantung mata yang tebal nan hitam yang berusaha bertahan hidup demi tercapainya target sesuai deadline.

Sudah dua hari ini Seungyoun terjaga. Syukur-syukur dalam sehari dapat memejamkan mata selama dua jam. Selebihnya dia akan terbangun tengah malam sambil memelototi layar laptop ditemani segelas kopi dan cemilan kacang yang kalau dikunyah alot.

Rentengan kopi instan yang sengaja disimpan pada kabinet sebagai persediaan untuk satu bulan cuma bertahan sampai empat hari. Tiap lima jam sekali Seungyoun mencekoki diri dengan cafein. Efeknya lumayan sihㅡ kantuk menghilang, maag menyerang.

Hebat, kan?

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Seungyoun bisa apa selain meraba-raba laci meja kerjanya mencari obat maag. Seperti lagu lama, sesuatu yang sedang dibutuhkan urgent tidak pernah ketemu dengan cepat. Giliran tidak dicari hampir selalu menampakan diri dimana-mana.

Aduh, Seungyoun sudah tidak tahan. Rasanya perut terkoyak hebat.

Choi Byungchan yang waktu itu melintasi kubikelnyaㅡdengan sebuah map yang entah isinya apaㅡterhenti begitu menemukan mimik kesakitan anak buahnya.

“Seungyoun—?!” Byungchan menahan tubuh Seungyoun yang oleng. “Heiㅡ Kamu kenapa heh? Sakit?” Tampak jelas kecemasan menyerang lelaki itu saat menelisik muka Seungyoun.

“Saya gak papa, Pak Choi,” jawab Seungyoun dengan nada lemah.

“Gak apa-apa, ndasmu! Mukamu pucat banget ini lho!”

Byungchan menengok ke kanan-kirinya. Kondisi lantai empat saat itu sudah sepi karena bertepatan dengan jam makan siang.

“Kita ke rumah sakit ya?”

Seungyoun menggeleng. “Gak, Pak...gak usah. Saya masih kuat kok, Cuma butuh obat maag aja.”

“Gak akan ngefek kalau kondisinya sudah begini!”

“Tapi biasanya perut saya sembuh setelah minum obatnya. Kasih saya obat aja, Pak...”

Decakan keras terdengar jelas. Byungchan mengerutkan dahi setengah jengkel waktu ditolak. Dalam keadaan sakit pun sifat keras kepala pemuda itu tak luntur.

“Junho!” Byungchan bernapas lega saat seorang staf muncul dari balik pintu lift. “Sini cepat!”

Junho panik melihat Seungyoun bersandar lemas pada manager marketing.

“Kak Youn kenapa, Pak??”

“Maag. Coba carikan obat maag.”

“Iya, Pak, siap!”

Kaki jenjang Junho langsung melesak mencari kotak p3k di laci-laci meja dekat jendela. Dia kemudian kembali dengan sebotol pil berwarna putih.

“Ini cepat ditenggak,” perintah Byungchan memberikan sebutir tablet dan segelas air mineral.

Junho meremas kepalan tangannya, menahan tremor.

“Kak, aku antar ke kamar karyawan saja ya? Istirahat sebentar.”

“Gak usah... Gue gak mau ngerepotin lo, Jun. Lagipula masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.”

“Ya udah, kerjain lagi. Kerja terus sana sambil nahan nyeri. Hasil laporanmu gak akan maksimal,” tukas Byungchan agak sarkas. “Susah banget ya dibilangin. Kalau Seungwoo tahu kamu pasti disuruh pulang.”

The BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang