... Haya Tidak Memutar Lagu Itu,

144 22 54
                                    

Ini memasuki minggu kedua setelah ulang tahun Daira saat itu. Hari pertama di minggu kedua ini Daira habiskan di rumah Haya setelah satu minggu kemarin keduanya habiskan untuk jalan-jalan memenuhi wishlist yang sudah mereka susun berdua.

Sebenarnya, kabar bahagia yang diterima Daira saat itu juga beriringan dengan keberatan hatinya meninggalkan Haya, karena sebenarnya sepasang sahabat itu harus menerima kenyataan bahwa di masa perkuliahan ke depannya, mereka tidak akan bertemu sesering seperti masa-masa SD, SMP, ataupun SMA lagi.

Dalam waktu dekat, Daira akan berangkat ke kota yang sudah sekitar tujuh tahun tidak ia kunjungi itu. Sementara untuk Haya, ia akan menetap di sini. Walaupun jarak keduanya dapat ditempuh kurang dari satu hari, tentu saja tidak semudah itu meluangkan waktu bagi mereka berdua untuk bertemu dan menghabiskan waktu sesuka mereka seperti sekarang.

Oleh sebab itu juga Daira tidak tahu sekarang ia harus senang atau sedih.

Kembali ke kota kelahirannya dengan harapan untuk bertemu Ali dengan segala mimpi yang sempat terkubur sudah ia impikan sejak lama, namun meninggalkan Haya disini sendirian juga bukan pilihan yang ia pinta.

"We'll be fine, Dai. Don't think about it too much. Kasih tahu aja nanti kalau udah ketemu beneran sama Ali." Tepat ketika Haya menyelesaikan perkataannya, disaat itu juga Daira menutup novel yang ia baca. Baru saja ia tamatkan novel yang belakangan ini menjadi temannya itu.

"Trying something new isn't really my thing, you know."

"Ali ga something new 'kan?."

"Ih lo mah, jangan Ali mulu. It's about us."

Haya tidak menggubris, ia melambaikan tangannya di hadapan Daira seolah tidak ingin membahas tentang perpisahan mereka yang tak lama lagi akan terlaksana.

"Kalau diinget-inget lo ga pernah bener-bener cerita tentang Ali. Mending lo cerita sekarang."

"All of sudden?" Daira menatap Haya heran.

"Kita ga ada bahan obrolan?"

Daira mengangguk setuju, dari wajahnya kini perempuan itu tampak berpikir sejenak mencoba mengingat apa saja tentang Ali mulai dari awal mereka bertemu sampai berpisah. "Gue pisah sama Ali pas tamat SD. We shared everything. He knew what I liked and didn't. He would knew if something bothers me. He just gets me. Gue ga bisa jelasin apa-apa. Intinya, ada Ali berarti ada gue, ga ada Ali ga ada gue."

Daira kembali mengangkat novel yang masih ada di genggamannya. "Lo juga udah selesain novel ini 'kan? Nah ga jauh beda ceritanya. Cuman gue belum ketemu Ali lagi aja."

Haya mengangguk, "Lo sadar ga si, setiap hal yang lo lakuin pasti depends sama ingetan lo tentang Ali. Contohnya aja, kaya ekskul di sekolah, lo pilih musik karena dia suka musik. Trus yang baru-baru ini, your major. Also based on that true story where Ali suggested you to take drawing more seriously."

Daira terdiam sebentar kemudian terkekeh, "Iya ya?"

Haya menampakkan ekspresinya yang mengejek, "Iyi yi. Kadang gue kasian gitu sama Adip. Dia tahu ga tentang Ali?"

"Gue pernah cerita sih, cuman ya sekedar aja. Dia juga ga nanya apa-apa. Lagian buat apasih? Gue tuh cuman penasaran aja sama Ali yang sekarang, bukan buat apa-apa juga anjir. Pemikiran lo nih jauh."

"Dih gue ga bilang apa-apa?" Haya melototkan matanya.

"Tai lo."

"Tapi ya Dai, gue personally ga begitu inget sih gue pas SD ngapain aja. Kata gue si Ali Ali itu juga lupa sama lo sih. Apalagi dari namanya aja tu udah kaya redflag banget. Ada Manggala-nya." Haya bergedik ngeri sendiri. "Dia juga udah melalui masa SMP dan SMA. Pasti lebih banyak yang berkesan dibanding lo. Gue liat-liat berdasarkan deskripsi lo, lo tu kaya beban banget gitu buat Ali."

IF CLAUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang