... Kejadian di Teras Itu Tidak Terjadi,

140 23 163
                                    

Mungkin akibat dari keluar seharian membuat tubuhnya merasa lelah, Haya yang sedari tadi mendengar cerita Daira dibuat terkantuk-kantuk oleh cara perempuan itu bercerita. Sangat tersusun dan rapi. Ada pembukaan, konflik dan sekarang di bagian penutup.

Haya benar-benar hanya menangkap bagian awal cerita.

"Ya! Lo denger ga si anjir?!"

Haya tidak menggubris, namun matanya hampir saja terpejam sempurna.

"HAYA!"

"Anjing!" umpat Haya seketika ia bangun lagi. Perempuan itu akhirnya mencoba memperbaiki posisinya lalu perlahan mencoba menatap layar laptop yang membuat matanya pedih.

"Ah elu mah, gue udah cerita panjang lebar. Kalau ngantuk bilang aja anjir, jadi gue ga usah cerita."

"Sorry sorry, tapi gue capek banget jujur. Gue seharian naik wahana anjir."

Daira menghela napas, "Trus ini gimana?"

"Apanya?"

Tidak ingin marah, Daira kemudian kembali mengatur napasnya. "Ini lo beneran ga ada satupun yang lo tangkep dari cerita gue?"

"Ada. Tadi lo ceritanya udah nyampe pas lo turun dari mobil. Trus kata lo taman rumah Oma tu adem banget. Trus lo naik ayunan 'kan?"

"Heh! Bahlul! Gue ga naikin ayunannya bangsat."

"Oh gue yang naik tadi di pas di taman."

"Haya ih!" Daira kemudian merengek. "Ini si Ali gimana?!"

Mendengar nama itu Haya seketika mengerutkan keningnya. Dengan berpikir keras ia berusaha mengingat-ngingat cerita Daira bagian mana yang memasukkan karakter Ali ke dalamnya? Bukannya perempuan itu hanya becerita tentang ospek dan rumah Oma?

"Ali ngapain? Sumpah gue bener-bener ga nangkep."

Daira pasrah dan akhirnya kembali bersuara, "Besok tu gue diajak keluar sama dia, jalan-jalan pagi."

"Lah terus masalahnya di mana?"

"'Kan gue yang tolol ini habis confess! Gimana si ah! Gue tu heran banget, Ali beneran act like nothing happened. Dia tetep kasih gue kabar, kirim gue pap segala macem, tapi ga pernah bahas kejadian di teras itu lagi."

Haya akhirnya mulai mendapatkan poinnya. Dengan mata yang sudah lagi tidak bisa dibuka secara sempurna, perempuan itu tampak siap untuk menjelaskan sesuatu.

"Gue bilang juga apa, kalau perkara ngarep jangan ke Ali. He clearly told you ga ada niatan ke sana. Segala sesuatu itu diawali dengan niat. Ini aja niatnya belum ada, gimana mau lanjut."

"Ya maksud gue, dia ga mau memperlurus gitu? Ini dia nolak atau kasih lampu ijo? Itu yang gue ga paham. Trus besok gue harus seharian sama dia tanpa dihantui cara bodoh gue confess ke dia itu? Mana bisa anjir."

"Atulah bodoh si."

"Haya!"

"Lagian elu gampang banget ke bawa suasana. Lo tu kadang jujurnya kelewatan."

"Jangan nasehatin gue dulu Syahrini! Ini gimana jadinya?"

Haya menghela napas, "Yaudah jalanin aja, lo liat aja si Ali ini maunya apa. Mungkin juga sebenernya dia lagi bingung sama kejadian itu. Lo 'kan confess-nya out of nowhere. Sementara, dia masih mau nikmatin masa-masa sama lo sebagai teman yang udah ga ketemu beberapa tahun."

Daira tidak lagi menjawab, hanya saja Haya dapat melihat perempuan itu terduduk lesu dengan bibir bawah yang lebih maju.

"Dikata sama si Giel aja, bandel si. Kasian banget anjir laki gue lo gantung begitu. Malah makin ke sini makin baik banget keliatannya."

IF CLAUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang