... Daira Menolak Kue dari Sarah,

161 25 174
                                    

Suara pantulan hujan yang turun di genteng teras kosan Daira itu kini terdengar sangat jelas ketika Ali menatap perempuan di sampingnya itu lekat. Ia yakin, suara bising itu tidak akan mengganggu Daira karena tampak jelas pikirannya tengah terbang kemana-mana.

Tidak usah khawatir tentang keberadaan Ali dan Daira berdua di teras kos, tadinya mereka sudah setuju untuk pergi ke taman dekat sana tetapi mendapati hujan yang semakin lebat membuat Bu Sri memberi saja izin Ali untuk singgah sebentar jika memang hanya ingin mengobrol dengan Daira.

Jadilah keduanya kini duduk di sini setelah tadi sempat berbasa-basi sebentar sebelum terjadi keheningan ini.

"Tadi di warmindo pesen apa aja sama Ge?" tanya Ali yang ternyata tidak membuat Daira sadar dari lamunannya. Ali dibuat tergelak oleh perempuan itu. Tangannya kemudian menggapai puncak kepala Daira lalu mengacak pelan rambut hitam yang dibiarkan tergerai itu.

"Aii? Mikirin apa sih?"

Ali dapat menangkap wajah kaget Daira. "Eh?"

"Lagi having a bad day ya?"

Perempuan itu menggeleng, "Ga kok, biasa aja," bohong Daira yang sebenarnya tengah kacau pikirannya setelah kejadian tadi di mobil Gabriel dimana laki-laki itu mengutarakan perasaannya.

Ketika Pradipta dulu melakukan hal yang sama, rasanya tidak seperti ini, Daira dapat mengingat betul bagaimana setiap kalimat yang Pradipta ucapkan menggelitik perutnya membuat ia selalu mengulum senyuman. Sementara tadi, ketika bersama Gabriel, yang ia rasakan hanyalah perasaan cemas, takut dan khawatir jika ia akan melukai laki-laki itu.

Dari caranya mengungkapkan perasaan, Daira benar-benar dibuat tersentuh. Detak jantungnya berdebar tidak karuan. Tangannya bergetar hebat membuat Daira sepanjang jalan harus mengepal kedua tangannya.

Daira sempat bertanya tentang semua refleks yang ia lakukan ketika Gabriel jujur kepadanya. Apa maksud dari semua itu? Tapi satu hal yang Daira tahu adalah ia tidak pernah siap untuk kehilangan Gabriel. Entah itu di dasarkan oleh perasaan yang sebenarnya juga mulai tumbuh atau hanya sekedar dirinya yang sadar tentang seseorang tengah menaruh rasa padanya dan ia tidak mau kehilangan itu.

Karena jujur, terkadang di saat Daira dalam kondisi tidak sadar, sisi lain dirinya sering sekali menangkap Gabriel sebagai sosok yang ia rasakan kenyamanan bersamanya, sosok yang ia rasa akan bisa menjaganya. Apapun tentang Gabriel sebenarnya sangat menarik dimata Daira. Tapi setiap pikiran itu datang, Ali seperti terus mengusiknya membuat Daira sering sekali membuang pikirannya tentang Gabriel cepat.

Ali bukan mengusik Daira hanya dengan menumbuhkan rasa pada perempuan itu, tetapi lebih ke meyakinkan Daira tentang seberapa mudahnya jika ia jatuh cinta pada Ali saja. Saat mengingat Ali semuanya terasa lebih mudah. Jadi ia berpikir untuk apa susah-susah menaruh hatinya pada orang lain jika Ali sudah berhasil mengemasnya dengan baik lebih dulu.

Daira kini mengalihkan pandangannya pada Ali. Keduanya melakukan kontak mata. Daira dapat melihat Ali menarik ujung bibirnya kemudian tampak jelas laki-laki itu menghadiahi Daira sebuah senyuman hangat. Suasana dingin disana seketika berubah membuat Daira merasa baru saja diberi pelukan.

"Ali?"

"Kenapa?" Masih belum ada yang mau memutus kontak mata itu, seolah sangat nyaman berada di posisi tersebut.

"Gue lagi bingung."

"Bingung kenapa? Cerita aja."

Kini Daira mengaku kalah, ia tidak lagi sanggup melanjutkan kontak mata itu. Ia biarkan saja dirinya memilih menatap cahaya-cahaya lampu penerang gelapnya malam yang berasal dari rumah-rumah berderet di hadapannya.

IF CLAUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang