BAB 10 - KEKHAWATIRANMU

98 6 2
                                    

“Ketika kamu memberi, ulurkanlah tangan kananmu dan sembunyikanlah tangan kirimu”

(Anonim)






🌺🌺🌺


"5 juta, apa itu cukup?" ucapnya Rayyan menyodorkan amplop coklat berisi uang.

"Tidak Tuan, ini ... terlalu banyak," tolak Zara halus.

"Ambil saja, tidak masalah. Lagi pula aku tidak memberi. Aku meminjamkannya, kamu berhutang memenuhi syaratku," senyum Rayyan menaikkan satu sudut bibirnya.

"Maaf tapi ini tetap terlalu banyak, Tuan." sekali lagi Zara mengelaknya.

"Tidak terlalu banyak dibandingkan syarat yang harus kamu lakukan, akan kutambahi nanti." sahut Rayyan masih dengan senyuman anehnya itu.

Zara pun mengambil amplop itu dengan kedua tangannya. Tubuhnya masih saja berbungkuk dihadapan Rayyan layaknya majikan dan pembantu.

" Terimakasih, Tuan." ucapnya memanggut sopan.

" Lanjutkan tugas kamu, saya berangkat pagi lagi hari ini," suruh Rayyan pada Zara yang siap hendak berbalik segera meninggalkan kamar Rayyan.

"Baik Tuan"

"Tunggu sebentar" - Rayyan mendekati Zara yang hendak mencapai pintu - "Hubungi aku lewat hp, kalo mau pergi ada urusan." sambungnya yang seolah faham isi fikiran Zara.

Zara hanya mengangguk mematuhi perkataan Rayyan. Memangnya apalagi yang bisa ia lakukan selain tunduk pada perintahnya. Sejak awal bahkan ia sudah diberi gelar bahwa dirinya hanya akan jadi pembantu. Ia pun tak pernah berharap dianggap sebagai istri, namun waktu menunjukkan kuasanya. Dalam hitungan hari saja ia menyadarkan perasaan Zara. Hatinya mulai gusar semenjak sisi lain dari Rayyan yang ia ketahui dari mulut Rayyan sendiri. Sejak saat itu, keinginannya terhadap Rayyan hanya satu. Menjadi senja, yang akan kembali Rayyan kagumi keindahannya.

***

"Neng Zara, mau kemana?" sapa Pak Man menghentikan sejenak aktivitasnya merapikan tanaman.
Tangannya masih setia memegang gunting tanaman.

Zara yang mendengar panggilan itu sepakat menoleh kearah suara. "Mau keluar sebentar Pak Man, ada urusan. Tadi sudah izin sama Tuan" - bibirnya tersenyum, sementara tangannya masih sibuk mengaitkan tutup tas slempangnya -  "Sama Bi Atin juga sudah tadi, Pak." lanjutnya tetap ramah.

"Tadi kata Mang Jaka suruh tunggu dulu, Neng. Mau dianterin, disuruh Tuan."

Zara mengeryit heran, sebab Tuan Rayyan tidak mengatakan apa - apa padanya. Namun bibirnya hanya meng-iyakan bila ia mendengar embel - embel perintah Tuan.

Zara tanpa ingin mempertanyakan, akhirnya berangkat dengan mobil Rayyan berasama Mang Jaka. Kali ini hatinya sedikit lega. Sebab bukan orang lain yang mengantarnya. Masih saja sampai saat ini ia rasakan, bila menaiki taksi jantungnya deg - degan tak karuan. Fikirannya bahkan selalu membayangkan hal yang aneh - aneh. Beruntunglah kali ini ia selamat dari ketakutannya. Mang Jaka yang sudah seperti paman sendiri begitu hangat pada Zara.

"Zara mau ngapain ke panti?" tanya Mang Jaka membuka obrolan.

"Zara ... Juga nggak tau Mang. Zara cuma pengen balik lagi setelah dari panti itu," sahutnya yang masih sibuk menatap layar ponsel barunya.

"Masa nggak tau. Memang sebelumnya mau ngapain Zara ke panti?" sahut Mang Jaka penasaran.

"Mau ... Emmmmm ... Mau main aja Mang. Hehehe," balasnya dengan senyum lebar menampakkan giginya yang berbasis rapi.

SENJA From ZARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang