BAB 9 - IKHLAS

116 6 7
                                    

“Orang yang ikhlas tidak silau oleh gemerlapnya dunia, sehingga dia tidak pernah mencintai dunia melebihi cintanya kepada Allah.”
(Abdullah Gymnastiar)





🌺🌺🌺

Sesaat setelah pelukan dadakan yang memaksanya tenggelam, membuat Zara tak berkutik dihadapan Rayyan.

"Aku.... bisa merasai detak jantungnya", tangannya berpangku diatas dada yang terlabuhi hijab panjangnya. Ada gemuruh badai yang berkecamuk didalam. Ia yang masih berjalan dibelakang Rayyan, harus menelan mentah rasa canggungnya.

"Pelukan itu...... nyata."
"Bagaimana raut wajah Tuan? Aku..... tidak sempat melihatnya. Astagfirullah... Aku sangat malu.. ", tapaknya kini berulang kali menepuk dahi menyesali kebodohannya.

Begitupun Rayyan yang mati - matian menyembunyikan rasa gugupnya. Namun sikap dingin dan acuh yang seperti telah mendarah daging, membuatnya mudah menutupi semua. Rayyan hanya terus berjalan melepaskan Zara tanpa sedikitpun memandangnya. Kini ada canggung yang menjaraki keduanya. Rasanya terlalu jauh, jarak itu memisahkan dengan tega.

****

Rayyan merebahkan tubuhnya di gazebo belakang rumah. Tempat ini adalah favoritnya untuk bersantai saat libur, pekarangan yang cukup luas dipenuhi tanaman hijau dan bunga - bunga yang memanjakan mata. Terlebih lagi, senja yang terlampau indah disaksikan dari tempat ini.

Matanya mulai terpejam meresapi angin yang berhembus lembut membawa angan. Kedua telapaknya bersatu untuk menjadi alas bagi kepala.

"Silakan Tuan", suara lirih itu membuat Rayyan membuka pelan kedua matanya. Pandangannya menangkap atap gazebo tanpa berusaha menoleh pada sumber suara.

"Tunggu, duduklah!", pintanya yang mendengar langkah kaki hendak meninggalkan tempatnya.

Zara tanpa berucap hanya melakukan perintah Rayyan. Ia duduk diujung gazebo, dengan  makanan dan minuman yang ia bawa tepat disamping Rayyan. Jarak selalu ada memisahkan, meskipun kini mereka adalah sepasang suami istri. Tapi sama sekali tidak memberi ruang untuk menyatukan keduanya.

"Suka melihat senja?", ucapnya memecah hening setelah kebungkamannya atas kejadian di Mall tadi.

Degggg

Pertanyaan itu membuat Zara tersentak dan memalingkan wajah pada Rayyan. Dengan nampan yang masih dipangkuannya, ia menyelami wajah yang tertangkap dibinarnya. Wajah itu seperti hendak menyampaikan pesan yang terkubur dalam.

"Aku bertanya padamu..... ", ucap Rayyan yang kemudian membiarkan bola matanya menatap Zara. "Zara"

"Ahh... Iyah... I-i-iya Tuan. Suka. Saya suka". Zara tergugup sebab mata mereka bertemu , ia pun segera menarik kembali wajahnya dengan tertunduk. Hatinya terhanyut dalam kebahagian sebab pertama kali Tuan Rayyan memanggil namanya.

Rayyan kembali menatap langit - langit gazebo tanpa arti. Bibirnya mulai mengeja kata berbicara pada Zara. "Kamu tau, aku sangat membenci senja."

"Hah?? Kenapa ? Tapi.... semua orang menyukai senja..." sahutnya yang kembali menatap Rayyan penuh antusias.

"Semua... Kecuali aku."

"Tapi kenapa, Tuan?"

"Karena kenangan pahit masalalu saat senja menyaksikanku..... Ketika aku mengejar laki - laki brengsek, yang hendak meninggalkan aku dan mama bersama perempuan lain. Aku mengejar si brengsek itu dan memeluk kakinya yang terus berjalan". Rayyan menjeda, menarik nafasnya dalam dan berkedip demi mengganjal beban yang memberati matanya.

SENJA From ZARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang