BAB 3 - SEPUCUK SURAT

182 15 3
                                    

Cintailah kekasihmu sekedarnya saja. Siapa tau nanti akan jadi musuhmu.
Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja. Siapa tau nanti akan jadi kekasihmu.
(Ali bin Abu Thalib)

🌺🌺🌺

"Kamu tau Zara, rindu itu memang sulit. Tapi menunggu diatas rindu jauh lebih sulit. Semoga Allah menyatukan kita."

Galih

Zara mengurai senyum dibibirnya kala membuka kotak berbungkus coklat muda. Kotak itu berisikan Al Qur'an kecil dengan secarik kertas didalamnya.

Apa yang lebih menggetarkan dari hati yang sedang jatuh cinta? Dan adakah yang lebih sulit dinasehati selain dua insan yang saling jatuh cinta? Terkadang cinta manusia mampu melemahkan cinta pada Yang Kuasa.Tetapi jatuh cinta selalu mengumbar bahagia. Entah pada akhirnya akan bagaimana.

"Baru dua minggu, Mas sudah mengirimi aku paket." bisiknya seakan berbicara pada segelas susu ditangan kanannya. Tangan kirinya masih asyik memegang secarik kertas kecil, matanya hampir terpejam sebab senyum yang merekah.

"Alhamdulilah" ucapnya setelah menghabiskan segelas susu. Ia bergegas ke kamar dan membawa Al Qur'an kecil pemberian Mas Galih.

Kini ia sudah dibasahi air wudhu, tangannya menggelarkan sajadah disamping ranjang tidurnya. Waktu dhuha membawa ketenangan yang tidak mampu ia tinggalkan. Sholat dhuha adalah sedekah, yang mampu menyedekahi 360 ruas persendian. Betapa Allah sungguh Maha Pemberi kemudahan. Di ujung sajadah ia bertengadah kepada Rabbnya. Ia pasrahkan segalanya kepada Sang Pemberi Kehidupan.

Hati Zara tidak mampu menampik untuk mencintai Mas Galih, tetapi kenyataan sulit untuk membuat zara menerima. Zara merasa tidak pantas untuk sekedar membayangkan bersanding dengan seorang dokter muda yang telah mapan. Siapa dia, hanya seorang gadis yang tidak jelas asal - usulnya. Bila pun Mas Galih mau menerimanya, apa mungkin keluarganya bersedia membuka pintu untuk gadis sepertinya.

Tok.. Tok.. Tok..

"Zara, kamu didalem nggak." suara ketuk pintu menghentikan hatinya yang tengah berdiskusi dengan pikiran. Ia menggeletakkan sajadah dan mukena diatas ranjangnya. Dengan sigap ia mengaitkan hijab diwajahnya, dan kakinya melangkah cepat menuju pintu depan.

" Iya sebentar" teriaknya.

"Hai?" sapa wanita berambut panjang dengan dress selutut yang membalut rapat lekuk tubuhnya

"Assalamualaikum. Tumben Rani kesini. Ada apa?"

Zara membalas tersenyum pada wanita itu. Dialah Rani, anak sulung dari paman dan bibi. Harusnya dia memanggil Zara dengan sebutan kakak, tapi sejak kecil rasa benci nya pada Zara tidak pernah sirna.

"Zara, lo hari ini jangan berangkat kerja ya." ucapnya yang lalu tanpa permisi masuk dan menyenderkan diri di sofa.

"Kenapa Ran?"

"Besok kata papa kita disuruh ke Bali. Buat liburan sekalian cari alamat panti asuhan lo." Ia menjeda membiarkan Zara meresapinya. "Tenang, gue temenin. Gue juga mau piknik sekali - kali."

"Besok?", ujar Zara dengan nada terkejut.

"Iya, papa udah pesen tiketnya. Jadi besok harus berangkat. Mending sekarang lo siap - siap. Oke???", tawarnya tanpa meminta persetujuan.

Zara hanya terpaku dan membisu. Ini mendadak, benar - benar seperti hujan diantara teriknya siang. Ia bisa apa selain pasrah dan meng-iyakannya.

Zara mengemas baju dan barangnya kedalam tas besar. Bibirnya sibuk menuntun tangannya yang tengah memasukkan barang. Hingga Al Qur'an kecil itu ditangannya. Untuk sesaat ia terdiam. Kali ini Zara terduduk diatas ranjang yang selama ini telah setia menerima segala lelahnya. Tiba - tiba ia teringat pada Mas Galih.

SENJA From ZARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang