Gael Aland ● 8

2.3K 175 2
                                    

"Bagaimana dengan sekolah baru kamu?"

Pertanyaan itu membuat Gael mengangkat kepalanya dengan mulut penuh makanan. "Lumayan."

"Setidaknya kamu nggak bikin masalah dihari pertama, tapi dihari kedua." Ramos sudah tertawa sekarang.

Lihat, bahkan pria itu sama sekali tidak marah. Sekeras apapun Gael membuat masalah, nyatanya Ramos selalu menghadapinya dengan santai. Rasa-rasanya Gael sudah kehabisan cara untuk membuat ayahnya itu mengeluarkan emosinya yang tak lagi Gael lihat sejak kepergian sang ibu. Cowok itu hanya tak ingin ayahnya memendam apapun itu.

"Lalu, apa ada yang menarik dari sekolah baru kamu?"

Gael melarikan bola matanya ke atas, mencoba mengingat. Sejauh ini hanya cewek bernama Laurie yang menarik di matanya. Perlahan bibir Gael tertarik saat dia membalas tatapan ayahnya.

Dan Ramos sepertinya tahu apa yang kini ada di kepala anaknya itu.

Di sisi lain, di rumahnya, Laurie yang juga sedang makan malam hanya berdua dengan sang ibu, sibuk fokus pada makanan dalam diam. Seperti biasa, tak ada banyak lauk di atas meja makan. Tapi Laurie bersyukur saat dia masih diberi rezeki untuk bisa mengisi perut. Apalagi masakan ibunya selalu enak.

"Besok, biar ibu yang antar kain-kain yang udah selesai itu ya? Ibu nggak mau kamu sering telat ke sekolah."

Laurie meneguk minumannya sebelum membuka mulut, "nggak apa-apa Bu, biar Laurie aja. Besok Laurie akan bangun lebih pagi. Lagian, sekalian olahraga." Laurie memaksakan senyumnya yang dibalas ibunya juga dengan senyuman.

Laurie, Riris menatap anak keduanya itu saat dia sudah kembali sibuk dengan makanannya. Betapa beruntungnya Riris mempunyai anak seperti Laurie. Anak yang tak pernah mengeluh dengan kehidupan yang dia beri. Belum lagi saat anaknya itu membantunya mencuci pakaian lalu mengantarnya juga kepada pelanggan.

Detik berikutnya, tiba-tiba saja terdengar suara pintu digedor keras. Dan Laurie langsung tahu siapa itu.

Riris bergerak cepat lalu membuka pintu. Wajah suaminya muncul dari sana.

Bau alkohol langsung memenuhi indra pencium Laurie saat pria itu memasuki rumah. Tak lupa gadis itu mendengus di tempatnya.

"Bagi gue duit!"

Riris hanya diam sambil menutup pintu di belakangnya.

"Lo budeg apa gimana sih?!" Gani menoleh menatap Riris kesal.

Laurie menutup matanya sejenak sebelum menatap sang ayah dengan tatapan jengah.

"Aku belum dapat duit Mas, aku akan kasih besok begitu kain-kain-"

Plak!

Secepat kilat Laurie bangkit saat ayahnya sudah memukul ibunya begitu saja. "Bapak!" Suaranya yang begitu keras membuat rumah itu hening beberapa detik. Sekuat tenaga Laurie mendorong badan pria itu menjauh, tapi pukulan yang mendarat di sudut bibirnya langsung membuat cewek itu terdiam. Sekuat tenaga menahan air matanya, Laurie kembali menatap ayahnya.

"Kami bisa hidup tanpa Bapak! Kenapa Bapak nggak pergi aja?!" Hilang sudah kesabaran Laurie. Dia menatap tajam ayahnya dengan berani.

Emosi Gani langsung memuncak begitu mendengar ucapan Laurie. "Dasar anak kurang ajar!"

Bugh!

Pukulan selanjutnya mendarat di pelipis Laurie tanpa aba-aba. Cewek itu sudah tersungkur dan pusing begitu saja karena pukulan keras itu. Riris bergerak untuk memeluk anaknya sambil terisak.

Mata Laurie sudah berkaca-kaca saat menoleh menatap ibunya. "Ibu lihat? Apalagi alasan ibu pertahanin semua ini?!"

Riris sudah menangis sekarang, kedua tangannya memeluk Laurie lebih erat.

Tak kuat jika juga harus melihat tangis ibunya, Laurie melepaskan kukungan tangan Riris dan bangkit. Melangkah masuk ke dalam kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Cewek itu membenamkan wajahnya ke lutut yang dia tekuk. Laurie sudah puas sekali dengan kekerasan yang sejak kecil sudah dia saksikan di depan matanya. Dan sejak tahu cara membantah ayahnya, dia juga ikut menjadi korban.

Kini Laurie menyalahkan ibunya yang tak pernah mau meninggalkan ayahnya. Wanita itu terus berharap orang seperti suaminya bisa berubah. Laurie bisa saja pergi ke Jogja ke tempat kakaknya kuliah. Hidup bersama dengannya dan bekerja paruh waktu jika perlu. Tapi nyatanya dia tidak tega jika harus meninggalkan ibunya hanya dengan bapaknya. Laurie yakin akan lebih sering pria itu menyakiti ibunya jika tak ada Laurie.

Pernah juga Laurie mengancam sang ayah akan dilaporkan ke polisi, tapi tangisan ibunya saat itu membuat Laurie mengurungkan niatnya.

Jika ada yang bertanya apa yang membuat Laurie tak sanggup dia hadapi di dunia ini, maka jawabanya adalah tangis ibunya.

**********************************

Jangan lupa vote dan komen yaw. Sesederhana itu gue sudah merasa dihargai =)

Gael Aland (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang