Gael menatap batu nisan di hadapannya dengan kaku. Pemakaman Bara dilakukan pagi hari setelah berapa jam dia berada di rumah sakit begitu dinyatakan meninggal dunia. Selama itu juga Gael tidak memejamkan matanya untuk tidur. Rasanya seperti mimpi, dan tentu saja mimpi buruk. Bahkan berkali-kali Gael menampar wajahnya agar percaya jika dia bukan dalam mimpi.
Gael melirik ke kiri saat ibu Bara memeluknya dengan tubuh bergetar. Tangan Gael bergerak merengkuh wanita itu. Ikut merasakan kesedihannya.
"Maafin Bara kalo dia ada salah ya Gel." Wanita itu mengangkat kepala dengan matanya yang bengkak akibat menangis semalaman.
Gael hanya diam terus menatap wajah wanita itu sambil mengeraskan rahang saat merasakan bibirnya mulai bergetar. Wanita di hadapannya ini adalah orang yang paling disayangi Bara. Gael ingat sekali Bara akan berubah 180 derajat begitu di depan ibunya. Menjadi anak yang paling sopan yang pernah Gael lihat.
"Doain Bara ya?"
Gael membuang wajahnya saat air mata wanita itu kembali keluar. Bara selalu akan mencari gara-gara diluar rumah begitu melihat ibunya menangis. Dan kini, Gael tahu betapa sedihnya Bara jika dia melihat tangis ini. Gael memutar kepala setelah menghela nafas dan kembali memeluk wanita itu.
"Bara sudah di tempat yang baik Ma. Bara pasti ikut sedih kalo Mama nangis gini."
Wanita itu memaksakan kekehan dalam tangisnya walaupun terdengar gagal. Gael semakin merapatkan kedua tangannya di punggung wanita itu. Wanita yang sejak mengenalnya sudah membuat Gael kembali meraskaan kehangatan seorang ibu.
Gerimis yang tak biasanya turun seakan sedang mengambarkan perasaan semua orang yang menghadadiri pemakaman Bara. Termasuk pria yang berdiri kaku di di bagian tiang tenda. Menatap nisan Bara tanpa kedip. Dia adalah pria yang sangat dibenci Bara, pria yang membuat Bara selalu menghabiskan malamnya dengan sebotol bir. Pria yang membuat ibu Bara selalu menangis dan pria yang Gael yakin kini tengah menyesali apa yang telah dia perbuat pada keluarganya. Termasuk Bara, anak laki-lakinya yang selalu menentangnya dengan berani. Membela ibunya dengan mati-matian dan anak yang selalu menatapnya penuh kebencian. Perlahan Gael bisa melihat air mata membasahi pipi pria itu, sebelum dia berbalik dan meninggalkan pemakaman.
'Bokap lo nangis buat lo Bar. Apa lo sedang ketawa sekarang?' Gael membatin.
Begitu perwakilan keluarga mengucapkan sepatah dua patah kata lalu diakhiri dengan membaca doa, perlahan orang-orang mulai meninggalkan pemakaman itu. Ibu Bara sudah dipobong oleh beberapa orang saat dia tiba-tiba tidak sadarkan diri.
Gael yang masih diam ditempatnya terus menatap gundukan tanah yang masih merah di hadapannya.
"Gue udah bilang kalo gue nggak akan ninggalin lo, tapi kenapa lo ninggalin gue?" Suara Gael bergetar saat perlahan dia mulai berjongkok, mengusap nisan Bara perlahan setelah itu.
"Gimana? Lo betah di dalam sana? Mau gue bawain PS?" Dan dia terkekeh sendiri lalu menunduk saat matanya kembali panas.
"Gue sengaja nggak langsung service mobil gue karena gue mau tukeran mobil sama lo. Biar lo kesel." Gael terkekeh sumbang. "Bahkan lo baru tahu sekarang kan?" Cowok itu kembali terkekeh dan detik selanjutnya air mata sudah membasahi pipinya. Bahunya bergetar sambil dia menundukan kepala. Sejak tadi Gael mencoba menahan tangisnya tapi dia tahu dia tidak akan bisa.
"Kenapa lo ninggalin gue?"
Gael mengangkat kepalanya, sepenuhnya sudah terisak pilu.
"Kenapa lo nggak maksa gue untuk ikut balapan sama mobil lo?"
"Kenapa lo nyerah hanya karena mobil sialan lo itu?"
Air mata Gael sudah dengan derasnya turun. Hatinya benar-banr pedih. Seperti ada ribuan pedang menancap di sana.
"Tuan."
Gael memejamkan matanya erat-erat begitu mendengar suara di belakangnya itu. Pak Hadi sudah berdiri tak jauh dari Gael. Setelah menunggu cukup lama di dalam mobil, nyatanya pria itu tak mau membuat Gael terlalu larut dalam kesedihannya.
"Kita harus memenuhi panggilan polisi."
Gael mengusap air matanya dengan ujung tangan bajunya. Selanjutnya dia bangkit dan melirik nisan Bara beberapa detik.
"Telfon gue kalo lo butuh teman minum." Dan dia berbalik, melangkah meninggalkan makam Bara dengan mata kabur oleh air mata.
Hidup akan terus berjalan, dan Gael yakin jika hidup akan memulihkan rasa pedihnya. Semoga begitu.
Tiba di kantor polisi, Gael dengan status sebagai saksi berhadapan dengan 2 orang polisi yang menanyakan kronologi kejadian yang membuat Bara tewas. Tak banyak yang dikatakan Gael. Dia hanya mengatakan kejadian dari awal hingga akhir dengan kata yang ringkas. Sekalipun berat saat otaknya berputar untuk mengingat, Gael tahu dia harus melakukannya.
Dan begitu selesai dengan semua urusan di kantor polisi, Gael hanya diam duduk di bangku penumpang mobil yang dikendarai sopir dengan Pak Hadi di sebelahnya. Begitu tiba di rumah, pelukan Ramos segera menyambutnya. Pria itu tanpa banyak bicara mencoba memberikan ketenangan bagi anaknya. Setelah itu Gael menghabiskan sisa harinya dengan mengunci diri di kamar. Menghabiskan entah berapa batangan nikotin sejak tadi. Bahkan Rasanya sudah lama sekali merasakan kehilangan tapi rasanya masih sama, menyakitkan.
Hujan masih belum berhenti hingga akhirnya malam datang. Gael juga menolak untuk ikut makan malam. Pandangannya lurus ke luar jendela yang dibiarkan terbuka. Membiarkan udara malam di tengah hujan menyapu kulitnya. Dan kemudian dia teringat Bara lagi, kembali menangis sambil terus merokok sampai dia merasa lelah hingga tertidur di lantai kamarnya. Ramos yang mendapati itu langsung mengendong anaknya itu untuk tidur di ranjang.
Perlahan Ramos menghela nafas, sudah lama sekali rasanya dia tidak melihat Gael menangis. Dan kenyataan saat melihat lagi anaknya menangis, membuat jantung Ramos sakit. Selama ini dia selalu membuat Gael bahagia dengan memberikan apa yang anak laki-lakinya itu mau. Mempermudah semua urusan Gael dengan mempekerjakan Pak Hadi. Semua dilakukan Ramos agar Gael tidak mendapatkan kesulitan dalam hidupnya. Hanya agar anaknya itu tidak memikirkan lagi masa lalu mereka. Ramos rela bekerja keras untuk bisa memenuhi semua kebutuhan dan keinginan Gael. Juga berperan ganda sebagai orang tua. Walau Ramos tahu Gael tak lagi mendapatkan kehagatan seorang wanita yang berperan sebagai ibu dalam hidupnya. Berkali-kali Gael menggoda Ramos untuk mencari istri. Tapi berkali-kali juga Ramos menghiraukannya. Jika boleh jujur, dia tak lagi butuh sosok istri. Kejadian di masa lalu membuatnya kehilangan rasa percaya. Dia hanya butuh sosok ibu untuk Gael. Tapi sepertinya tidak mudah menemukannya mengingat Ramos hanya selalu sibuk dengan perkerjaan. Lagipula, pria itu tak mau jika kejadian di masa lalu terjadi kembali. Seiring berjalannya waktu, Ramos mulai berpikir jika Gael sudah melupakan masa lalunya dengan kehidupan yang dia berikan. Berpikir jika Gael tak lagi butuh sosok ibu. Ramos bahagia dengan hidupnya berdua dengan Gael, begitu pun sebalikanya. Setidaknya itu yang Ramos percayai.
Suara ponsel yang berdering dari dalam sakunya, membuat Ramos tersentak. Buru-buru mematikan alarm yang sengaja dia setel lalu beranjak bangkit, menuju kamarnya dan meminum beberapa jenis obat dalam sekali teguk. Dia harus tetap sehat untuk memberikan kehidupan yang layak bagi Gael.
**********************************
Jangan lupa vote dan komen yaw. Sesederhana itu gue sudah merasa dihargai =)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gael Aland (Completed)
Teen Fiction"Hidup itu penuh kejutan, sekarang bahagia, besok bisa aja terluka. Tugas kita hanya bersiap-siap." - Gael. Gael Aland merasa jika hidupnya tidak lah mudah karena harus menjalaninya di saat satu persatu orang yang dia sayangi mulai meninggalkannya. ...