Baru saja Gael kembali dari makam Bara dan kini berdiam diri di coffee shop yang biasa dia dan cowok itu kunjungi. Betapa rindunya Gael pada Bara saat ini. Rindu akan sikap bodohnya yang akan membuat Gael tertawa. Rindu akan wajah kesalnya begitu Gael mulai menyebalkan. Dan juga, Gael tentu saja rindu saat mereka menghabiskan malam sambil mencurahkan apa yang tengah mereka rasakan dengan sebotol bir. Bara yang selalu membenci ayahnya dan sangat menyayangi ibunya, dan Gael yang selalu menyayangi ayahnya tapi tak peduli lagi dengan ibunya.
Sudah lebih dua minggu kepergian Bara dan sejak saat itu juga rasanya Gael seperti hidup tanpa nyawa. Tak ada lagi teman sehidup sematinya. Seharusnya saat itu Gael ikut menemani Bara balapan agar mereka bisa mati bersama. Perlahan cowok itu menunduk, menghela nafas panjang saat merasakan sesak itu kembali datang. Detik berikutnya dia beralih menatap ke luar jendela begitu dadanya semakin tak kuat menahannya. Sekuat tenaga dia menahan air matanya saat merasakan panas di sana.
Sekarang lo pasti ngetawain gue kan? Gael membatin lalu menghela nafas lagi. Gue nggak nangis buat lo, mata gue kelilipan! Dan dia terkekeh sumbang.
Setelah itu, ponselnya berdering dari dalam saku celana. Menggeser icon hijau pada layarnya, Gael menempelkan benda pipih itu ke telinga.
"Hai Boss, malam ini ada balapan. Kita udah ganti jalur, gimana? Lo mau join kan?"
Suara riang di seberang sana membuat Gael mendengus. "Nggak!"
"Ha? kenapa?"
Tut.
Begitu saja Gael memutuskan sambungan telfon itu. Selanjutnya tangannya bergerak memblok semua nomor telfon yang berhubungan dengan arena balapan.
Bagaimana bisa Gael bisa ikut balapan lagi?
Bahkan jika boleh jujur, sampai saat ini dia masih belum terima atas kepergian Bara.
Pulang ke rumahnya setelah cukup lama menghabiskan waktu di coffee shop, Gael segera menuju ruang kerja ayahnya dan menyelimuti pria itu begitu mendapatinya sudah tertidur. Ditatapnya wajah kelelahan milik Ramos. Gael tahu sekali pria itu bekerja keras untuk memberikan hidup yang layak padanya.
"Maaf kalo Gael suka bikin Papa susah." Gael menegakan badan, menarik selimut agar menutupi seluruh badan ayahnya sebelum keluar dari ruangan itu.
Pintu terdengar tertutup, dan perlahan
Ramos membuka matanya. Selalu begitu. Gael akan selalu meminta maaf padanya disaat dia tertidur. Anak laki-lakinya itu selalu menyepatkan diri untuk datang keruangan kerjanya sebelum tidur.Di luar kamar ayahnya, langkah Gael hendak membawanya menaiki tangga sebelum suara Mbok Darmi memenuhi telinganya.
"Den, sudah makan?"
Gael berbalik, tersenyum dan melangkah mendekati wanita itu sambil tak lupa mengangguk senang. Duduk di meja makan, Gael memperhatikan Mbok Darmi yang bergerak menyiapkan makanan untuknya.
Wanita dengan senyum hangat itu berperan untuk memperhatikan tumbuh kembang Gael sejak kepergian ibunya. Kadang Gael berpikir kenapa dia tidak menjadi anak Mbok Darmi saja. Dan kadang dia iri pada anak laki-laki Mbok Darmi yang seumuran dengannya yang kini ada di pesantren.
Gael segera menyendok makanan ke dalam mulutnya begitu hidangan sudah tersaji di depan matanya.
"Bagaimana sekolah barunya, Den? Mbok belum dengar apa-apa dari Den Gel."
Gael mengangkat kepala dengan mulut penuh. "Aku belum nemu teman yang kek Bara."
Senyum Mbok Darmi perlahan memudar, tapi secepat itu juga dia mengantinya dengan senyum yang lebih hangat. "Mbok yakin Den Gel akan dapat sahabat yang lebih baik, walaupun si Mbok tahu kalo Den Bara adalah orang yang sangat baik."
Gael tersenyum, ditatapnya wanita di hadapannya itu lurus-lurus. "Mbok?"
"Ya?"
"Makasih sudah ada di sini." Gael tahu jika itu saja tidak cukup, tapi setidaknya ucapan itu tulus dari dalam hatinya.
Senyum Mbok Darmi makin lebar. "Terima kasih juga sudah menjadi anak yang baik untuk semua orang yang sayang sama Den Gel."
Gael terkekeh. Sekalipun dia selalu membuat masalah di luar rumah, tapi dia adalah anak yang baik di rumahnya. Memperlakukan semua orang yang berkerja di rumahnya seperti keluarga sendiri.
"Papa udah makan?"
"Sudah Den, tadinya mau nunggu Den pulang dulu, tapi si Mbok paksa karena tuan keseringan nunda makan."
Kepala Gael mengangguk. Betapa bersyukurnya Gael dengan kehidupan yang dia dapat saat ini. Semua yang dia punya adalah berkat kerja keras Ramos. Berkali-kali Gael meminta ayahnya itu untuk memperhatikan waktu istirahatnya. Dan Ramos hanya selalu menjawab dengan kata-kata yang sama.
'Bukankah kamu mau mobil yang lebih keren?'
Setelah menghabiskan makanannya yang membuat Mbok Darmi tersenyum senang karena Gael memuji masakannya, cowok itu beralih masuk ke dalam kamar. Dan entah kenapa kepalanya menoleh begitu saja untuk melirik buku yang belakangan ini sedikit dia lupakan. Diraihnya buku itu dari ujung lemari dan tangannya bergerak untuk membukanya.
Membalki halamannya satu persatu, mata cowok itu memperhatikan beberapa gambar yang sebelumnya dia buat. Menghela nafas pendek, dia menutupnya kembali, kemudian meletakannya ke tempatnya semula.
Moodnya untuk mengambar belum kembali. Mungkin lain kali?
**********************************
Jangan lupa vote dan komen yaw. Sesederhana itu gue sudah merasa dihargai =)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gael Aland (Completed)
Teen Fiction"Hidup itu penuh kejutan, sekarang bahagia, besok bisa aja terluka. Tugas kita hanya bersiap-siap." - Gael. Gael Aland merasa jika hidupnya tidak lah mudah karena harus menjalaninya di saat satu persatu orang yang dia sayangi mulai meninggalkannya. ...