-03-

251K 17K 858
                                    

Tandai typo dan kejanggalan.

❄❄❄

Papa?

"Ayo masuk Kiana," Pak Satria membuyarkan lamunanku. Papa? Anak kecil? Seriusan Papa? Pak Satria gak jomblo? Udah beristri? Punya anak?

Aish, seharusnya dari awal aku sadar kalau dosen muda tanpa buntut dan pawang itu cuma ada di novel.

"Siapa dia, Papa?" Tanya gadis kecil tadi masih memandangku bingung.

"Mahasiswi Papa," ujar Pak Satria masih sibuk mengecupi wajah anaknya.

"Papa stop! Apa itu mahasiswi?" Aku masih berjalan kaku di belakang punggung kokoh yang ternyata seorang papa ini. Aku merasa patah semangat dibuatnya, sial! Sudah menyombong di depan Jessy, eh taunya yang diperebutkan malah pria beristri. Tapi dimana istrinya? Kok tidak terlihat sejak tadi? Suaminya pulang kerja loh ini, coba saja itu aku, pasti sudah aku sambut Pak suami dengan senyuman indah dan kecupan manja.

"Tanya tante ini, apa itu mahasiswi?" Lah dia malah melempar padaku yang jelas-jelas hanya diam dari tadi. Aku tidak terlalu dekat dengan anak kecil, karena ya memang tidak pernah. Aku anak bungsu dan tetanggaku dirumah tidak ada anak kecil, ponakan juga belum punya, ponakan jauh juga ketemunya tau-tau udah gede aja.

"Ehm, Tante-eh Kakak, apa itu mahasiswi?" Dia tergagap bingung memanggilku tante atau kakak. Kakak dong dek! Aku masih muda!

"Mahasiswi itu perempuan yang belajar di kampus dan Papa kamu yang ngajarin Kakak kalau di kampus." Benar kan ya?

"Oh begitu, Kakak ke sini mau main sama aku?" Loh kok ganti jadwal sih?!

"Kakak cuma mau ngantar ini ke Papa kamu," aku mengangkat lagi kertas di hadapanku. "Ini Pak," kataku menyerahkannya.

"Terimakasih," balasnya tapi berbeda dengan respon gadis kecil di pelukannya. "Yah aku kira bakalan main sama aku."

Gadis kecil yang belum aku tau namanya cemberut dengan raut kesedihan. "Kan kamu bisa main sama Mama kamu," balasku yang sepertinya salah.

"Aku gak punya Mama. Kakak mau ya main sama aku?" Wah bagaimana ceritanya ada anak tanpa ibu, mana mungkin Pak Satria membuahi dirinya sendiri jelas tidak bisa.

Aku menatap gadis kecil di hadapanku prihatin. "Maaf ya, Kakak gak maksud," walaupun aku tidak tau apa juga yang harus dimaafkan.

"Pak, saya pamit ya?" Pak Satria menatapku tajam sedari tadi, lebih baik aku pulang daripada terbunuh sia-sia di sini.

"Temani anak saya main sebentar, saya mau mandi." Loh he? Kok jadi pengasuh, aku kan gak berpengalaman.

"Tapi Pak-"

"Kamu cuma menemani dia Kiana," aku mengangguk patuh.

"Kakak gak mau ya? Gapapa kok, aku main sendiri aja." Dewasa sekali gadis kecil ini, bicaranya pun bagus. Aku salut padanya.

"Mau, ayo mainnya dimana?" Dia menarik tanganku menuju kamarnya yang malah jatuhnya beriringan dengan Pak Satria. Ini anaknya, pasti lah kamarnya dekatan.

Bodoh sekali aku.

Aku memasuki ruangan yang sepertinya memiliki luas sekitar delapan meter kali delapan meter. Luas sekali untuk ukuran gadis sekecil ini, apa tidak berlebihan? Ah ya, orang kaya tidak akan puas jika suatu yang dia punya tidak berlebihan. Berlebihan adalah estetika tersendiri.

Banyak banget lagi mainannya. Dia mengambil beberapa bonekanya dan menyerahkannya padaku. "Kakak cantik seperti barbie ini." Katanya lagi.

"Nama kamu siapa?" Akhirnya aku bertanya.

"Giani, panggil Gia aja Kakak cantik." Aku mengangguk masih tersenyum kaku.

"Gia panggil Kak Ana aja ya."

"Iya Kak Ana cantik," aku malu woi, dipanggil cantik gini yaampun. Akhirnya ada yang ngakuin aku cantik.

Kini aku bisa tersenyum tulus padanya, aku memandangnya tepat di matanya yang bulat, bulu matanya panjang, alisnya rapi dan tubuhnya yang sedikit gembul. Rambutnya terurai tak tentu menutupi wajahnya. Aku inisiatif ke arah meja riasnya -sekecil gini udah punya meja rias- lalu mengambil karet warna warni dan sisir.

"Mau main salon-salonan?" Tanyaku yang dihadiahi anggukan semangat dari Gia.

"Sini duduknya deketan," aku menepuk sisi depanku dia langsung duduk di pangkuanku. Aku terkekeh masalahnya kalau sedekat ini jadi sangat sulit. Aku majukan tubuhnya ke depan lalu mendapat protes darinya.

"Susah Gia, nanti Kakak pangku deh kalau udah selesai." Bujukku yang diterimanya.

Tanganku memisahkan beberapa bagian rambut di sisi kiri dan kanannya mengepang dengan rapi lalu menariknya ke belakang dan menyatukan masing-masing sisi, terlihat seperti mahkota yang melingkari kepalanya. Aku memang tidak terlalu pro soal ginian, tapi lumayanlah. Setelah merapikan rambutnya, aku mengubah posisinya menghadapku. Yaampun cantik sekali ternyata anak ini, aku baru bisa melihatnya dengan jelas, iris matanya berwarna coklat khas asia dan kulit putih serta bibir kecilnya yang kemerahan. Dia persis seperti putri kerajaan. Dan pas sekali poninya yang menutupi kening menambah kesan imut gadis kecil ini.

"Kamu cantik banget!" Seruku kegirangan melihatnya. Dia tersenyum senang memamerkan deretan gigi putihnya. Dia menarik lenganku ke arah salah satu pintu yang ada di kamarnya, katanya ingin mengambil baju princess miliknya.

Aku masih menunduk memandangi gadis kecil yang sedang menggenggam erat jari-jariku, setelah pintu terbuka akupun mendongak betapa kagetnya aku.

"ASTAGFIRULLAH PAK!" Aku bergegas menundukkan kepala menatap lantai.

"Papa kenapa gak pakai baju?"

Oke mari aku luruskan sejenak, Pak Satria yang aku lihat bukan polos tapi hampir, seperti yang dia bilang tadi dia akan mandi dan kondisinya sekarang sudah mandi alias hanya mengenakan handuk saja yang menutupi bawahannya. Dia sedang berada di depan lemari mengambil bajunya dan malah dikagetkan dengan teriakanku yang ternyata masuk ke kamar dari pintu penghubung kamar Gia anaknya.

"Kamu ngapain kesini?" Tanya Pak Satria yang aku yakini pada Gia.

"Aku mau ngambil baju princessku, lihat rambutku yang ditata oleh Kak Ana." Dia memamerkan kepangan rambutnya dan mulai melangkah masuk lagi masih menarik tanganku.

"Eh Gia, Kakak tunggu di kamar kamu ya!" Kataku segera berlari menuju kamar Gia kembali.

Aku menggerutu, bagaimana bisa baju gadis itu ada di kamar Papanya? Aku melihat lemari yang ada di kamarnya isinya memang hanya baju-baju biasa. Sedangkan yang disebut gadis itu baju princess.

Baiklah tenangkan diri, tarik nafas buang tarik lagi buang.

Hah! Kalau dipikir badannya Pak Satria bagus juga, kotak-kotak gitu.

Astagfirullah Kiana!

***

EDIT.

KIASA [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang