-06-

241K 16.5K 657
                                    

Tandai typo dan kejanggalan.

❄❄❄

Aku bergidik mendengar perkataan Rena. "Lo mau gue jadi ipar lo?" Tanyaku menganggap sarannya tidak buruk.

"Ya gue gak ada masalah sih, tapi lo emang mau?" Malah balik bertanya dia. Aku tertawa singkat, "suruh Pak Satria lamar gue kalau gitu."

"Serius ya, Na?" Tuntutnya lagi.

"Ya kalau doi mau, kenapa enggak?" Rena mengangguk paham menyetujui perkataanku. Lucu sih kalau aku benar jadi iparnya Rena. Tapi mana mungkin, kami tadi hanya bercanda kan?

"Kalau gitu, sekarang kita ke rumah Abang gue!"

"Ngapain?!" Kaget aku.

"Pedekate, sekalian temani gue ke sana ketemu Gia. Udah janji tadi," aku mengangguk paham.

Berpikir sejenak dan tersenyum licik, "sebelum itu bantuin gue dulu dong adik ipar, nih koreksi. Sebagian udah selesai. Sambil nunggu gue mandi, lo koreksi sebagian lagi oke?" Aku menyerahkan setumpuk kertas yang kira-kira ada lima puluh lembar lagi.

"Hah? Ini apa?"

"Ulah Abang lo itu, nyuruh gue koreksi kertas ujian. Bantuin ya biar nanti langsung dibalikin." Aku malas kalau harus membawa tumpukan kertas itu ke kampus, mending sekarang saja sekalian mumpung ada Rena.

"Fix deh ini lo bakal jadi ipar gue!" Dimana korelasinya coba? Tapi gapapalah yang penting Rena mau membantu.

Aku mengambil handuk dan baju ganti langsung bergegas ke kamar mandi.

Tidak lama, hanya sepuluh menit waktu yang aku butuhkan untuk mandi karena pagi ini terasa cukup dingin. Alesan aja sih sebenarnya wkwkwk.

"Udah?" tanyaku melihat Rena malah berbaring di kasur. Aku sedang mengeringkan rambutku dengan handuk.

"Belom lah," katanya duduk dan kembali mengoreksi. Dia sahabat yang baik. Aku duduk di dekatnya usai menggulung rambut dengan handuk agar tidak ada air berceceran. Membantu mengoreksi agar cepat selesai.

Setelah selesai, aku meminta Rena membereskannya sementara aku dandan sejenak. Tidak-tidak, hanya memoles bedak dan lipstik saja agar tidak kusam dan pucat. Aku tidak terlalu senang menggunakan make up di keseharian.

"Ngapain lo liatin gue?" Rena tersentak karena ketahuan tengah memperhatikanku.

"Lo beneran suka sama Abang gue?" Tanyanya lagi. Sepertinya pembahasan ini mulai serius.

"Gini Ren, kalau bicara suka, siapa yang gak suka Pak Satria? Setelah tau semuanya, gue malah jadi kagum dan bersimpati sama dia." Terutama setelah melihat dia bersama Gia, dia jadi sosok yang hangat dan sangat berbeda dengan Pak Satria yang aku kenal.

"Lo gak takut dikatain kalau nikah sama duda? Ya walaupun Abang gue bukan duda tapi tetap aja status Gia sekarang anak dia." Pertanyaan macam apa itu? Mikirnya kejauhan sampai nikah.

"Seharusnya gue yang nanya, emang Abang lo mau sama gue? Gue loh ini, gue yang gak ada apa-apanya." Rena memandangku jengah, dia tau masalahku.

"Emang lo kenapa? Gak usah deh sok bilang lo anak miskin gini gitu, gak laku sama keluarga gue. Kalau Abang gue setuju, lo juga ya apa salahnya." Aku tertawa mendengar responnya. Lagian lucu sih, aku kira awalnya cuma bercanda tapi taunya dianya serius bilang kayak gitu.

"Yaudah gak usah nanya, kalau dia mau mah gue mau-mau aja. Siapa yang bakal nolak coba kalau bisa punya suami tampan dan mapan kayak dia?" Jujur, sebenarnya aku belum kepikiran sampai pernikahan.

KIASA [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang