#8 Surat untuk Tuhan

481 13 5
                                    

"Dek, Abah tanya, kapan kamu siap dilamar?"

Tiba-tiba saja kalimat itu muncul di sela-sela kedinginanku dalam sudut kamar hotel bulan madu kami dini hari itu. Pertanyaan Mas Banyu di Private Message WA kami selepas kukenalkan dia ke ibuku dan setelah aku kembali ke Jogja.

Apakah sebenarnya dia tak menghendaki pernikahan ini? Apakah orang tuanya yang mendesak untuk segera menikahiku? Apakah aku sudah terlalu buta mengartikan semua kebaikan dan perhatiannya selama ini sebagai cinta? Apakah aku sudah salah ambil langkah untuk sangat bahagia menerima pertanyaan itu dan berujung kepada pernikahan anyep ini?

Momen-momen itu kembali memenuhi pikiranku.

"Memangnya siapa yang mau lamar Bening, Mas?" jawabku pura-pura bodoh, walaupun sungguh saat aku menerima pesan tersebut, aku langsung jejeritan, tanganku mendadak dingin, keringat di telapak tanganku mengucuur deras, tak henti-hentinya aku tersenyum sendiri, bahkan mengetik jawaban itupun aku masih gemetar.

"Hehe.. Abah mau lamarin kamu buat aku. Ibu udah setuju kan sama aku?"

Memang, selepas liburan kami ke Malang kala itu, sebelum aku kembali ke Jogja. Dia meminta untuk dapat turut serta ke Mojokerto untuk bisa mengenal ibu dan keluargaku.

Kebetulan saat pulang, kami sempat kehujanan di jalan. Kami sama-sama tak membawa mantel. Kuminta dia untuk berteduh, namun dia tak mau, "Kurang sedikit lagi kan katamu?" Akhirnya kami harus berbasah-basahan hingga sampai di rumahku.

Sesampainya, aku langsung menyiapkan baju ganti buat dia. Karena di rumah hanya ada Ibu, dan tak ada laki-laki. Kami kebingungan untuk mencarikan baju ganti. Bersyukurnya masih ada sarung peninggalan Bapak dulu, dan kaos oblongku warna hitam yang kebesaran dan tak pernah kupakai.

Setelah dia bersih diri dan mengganti pakaiannya. Aku ke belakang untuk membantu ibu membuatkan minuman hangat. Dan tiba-tiba ibu nyeletuk setelah bertemu hanya untuk salaman dan basa basi perkenalan singkat.

"Nah.. Ini Ning, cocok gawe dadi bojomu. Ibu setuju ambek arek iki. Iki Banyu sing ngajak sampean lilburan wingi kan?"

Aku seketika langsung berbunga-bunga.

"Nggeh Bu. Ibu kan dereng kenal kaleh Mas e. Ngobrol ae dereng. Cuma kenalan dikit banget kan?" Jawabku sambil tersipu malu.

"Tapi ketok e arek e apik. Tur yo ngganteng, gedhe dukur, proporsional. sumeh. Wes nduwe kerjaan tetap. Guru juga to arek e?"

"Inggih Bu. Stt.. pun banter-banter. Mengke Mas e kepireng. Nggehpun njenengan pirsani rumiyen mawon." Jawabku sambil tertawa kecil.

Kemudian kami bertiga ngobrol-ngrobrol ringan di ruang tamu kecil rumahku. Dia yang menggunakan sarung kotak-kotak warna merah hati dengan kaos oblong warna hitam dan ngobrol dengan ibu membuatku semakin yakin tentang malaikat itu benar-benar ada. Kali ini malaikat itu hadir di depanku. Dua malaikat sedang berbicara dan bercanda. Satu ibuku, dan satu lagi Mas Banyu. Mas Banyu sekali lagi, terlihat sangat mempesona malam itu.

Hingga ibupun menawarkan kepadanya untuk bisa menginap di Mojokerto. Walaupun tentu tak akan ibu tawarkan untuk menginap di rumahku. Mas Banyu rencananya jika memang sudah terlalu malam untuk pulang, dia masih bisa menginap di rumah kakakku, yang mana ada Mas iparku yang laki-laki. Namun Mas Banyu memilih untuk tetap pulang.

"Cuma butuh waktu 2 jam paling lama kok Bu buat ke Surabaya. Jadi, Banyu pulang aja mboten nopo-nopo." Dia sedari awal sudah meminta ijin ibu untuk tidak penuh menggunakan Bahasa Jawa, karena dia hanya bisa menggunakan Bahasa Jawa Ngoko Jadi lebih aman dia menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun tetap campur-campur.

Sejak pertemuan itu, Topik di keluargaku adalah Banyu. Begitupun ternyata di keluarga Mas Banyu.

Sampai saat dia mengirimkan pertanyaan lamaran itu kepadaku.

Kupeluk LukakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang