#11 Banyu Bening

403 8 3
                                    

Hari ini adalah hari pertamaku memulai kehidupan baru menjadi istri dan hidup bersama suami dengan Mertua di setiap hariku, Umi kami memanggilnya. Resmi menjadi bagian dari Surabaya perkara dipersunting oleh orang beridentitas Surabaya. Tinggal dan menjadi orang Surabaya memang telah menjadi mimpiku sejak kecil. Kurasa kali ini Allah mengabulkannya dengan mempertemukanku dengan Mas Banyu.

Hari ini pula aku bertekad bahwa aku akan terus berjuang untuk rumah tanggaku. Aku tak akan melepaskan Mas Banyu. Aku yakin semua pasti akan teratasi. Seperti pepatah jawa "Ojo Leren Lamun Durung Sayah". Dan kupikir aku masih kuat dan masih bisa jug belum lelah untuk dapat menghadapi semuanya. Bahkan mungkin aku tak boleh lelah untuk bisa mewujudkan keluarga kecil yang bahagia bersama Mas Banyu.

"Dek, pagi ini aku nganterin Lutfi pulang dulu ya ke Probolinggo." Pamit Mas Banyu selepas shubuh dan telah berpakaian rapi siap berangkat.

"Maksudnya Mas hanya akan nganter sampai terminal gitu kah?"

"Nggak. Aku bakalan ikut dia ke Probolinggo." Sambil menggendong tas raselnya. Aku yang baru saja menyelesaikan sholatku dengan mukenah pemberiannya saat akad nikah berwarna soft peach terkaget dan terkejut setelah semalam pun aku tidur sendirian. Aku sama sekali tak mengetahui rencana Mas Banyu tentang ini.

Akupun tak mampu mengatakan "Tidak" pada Mas Banyu, apalagi setelah Mas Lutfi telah menemani Umi selama kami tinggal bulan madu atau lebih tepatnya liburan. Walaupun sungguh hatiku bertanya-tanya, Mengapa harus diantar sampai Probolinggo? Mas Lutfi ini laki-laki harusnya bisa lebih mandiri dan tak perlu dikhawatirkan. Tapi lagi-lagi apalah dayaku.

"Mungkin aku disana 3 harian. Sampai jatah cutiku habis."

Aku semakin lemas mendengarnya. Izin cutinya ke sekolah tempat dia mengajar memang tidak lama, hanya sepuluh hari. Dua hari telah dihabiskan di rumahku, lima hari di Singapura dan Malaysia, sisa tiga hari. Pikirku tiga hari terakhir ini kami akan menghabiskannya dengan istirahat dan membangun chemistry dengan keluarga. Mengingat kami juga belum Unjung-Unjung ke para saudaranya di Surabaya. Terlebih, harapanku sebenarnya Mas Banyu dapat menamani hari-hari pertamaku orientasi di rumahnya.

Selama Mas Banyu tak di rumah, diapun berpesan padaku untuk tak bepergian lama-lama. Aku diijinkan keluar asalkan lekas kembali agar Umi ada temannya. Dia sangat mengkhawatirkannya Umi, tapi seolah tak khawatir sama sekali dengan keadaanku.

Mengapa Mas Banyu tega meninggalkanku di masa sulitnya adaptasiku di lingkukngan baru. Membiarkanku belajar dan menelan sendiri semua goresan di hati. Belum selesai rasanya goresan yang telah di buat untukku di selepas Malam Pertama itu, berbagai kebekuan selama bulan madu, kini dia lebih memilih untuk menamani temannya yang jelas-jelas menurutku tak membutuhkan bantuannya hanya untuk sekedar kembali pulang ke rumahnya sendiri.

Tapi setiap kali pikiran kotorku tentang mengapa dia mengutamakan ibu mertua, aku selalu ingat salah satu kajian yang disampaikan guruku dalam sebuah hadist bahwa "Yang paling berhak atas seorang wanita adalah suaminya. Yang paling berhak atas seorang lelaki adalah ibunya." (HR Tirmidzi). Harusnya aku bersukur mempunyai suami yang begitu sayang terhadap ibunya, maka aku pun yakin, dia juga pasti bisa menyayangiku sebesar dia menyayangi ibunya. Maka seketika hatiku cukup tenang. Merelakannya pergi di masa sulitku.

Kehidupan dengan mertua itu memang tak semudah hidup dengan orang tua kita sendiri. Semua terasa berat sekali. Dimulai dari hal kecil, entah itu tentang kebersihan rumah, masakan, sikap, dan hal-hal lain.

Sebelum menikah sebenarnya aku telah mencoba mempelajari tentang karakter calon mertuaku, setelah mendengar bahwa kehidupan antara mertua dan menantu acapkali tak dapat saling memahami dan hingga berduri. Maka aku mencoba sebisa mungkin mempunyai persiapan yang cukup.

Kupeluk LukakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang