#13 Masih Perawan

651 11 10
                                    

"Mas, kita ke dokter ya malam ini?" Pintaku padanya di siang selepas kutunaikan Dhuhur di kantor dalam pesan singkat WA. Sambil menunggu balasannya, kutinggal mengambil makanan di kantin. Bersyukurnya lagi, aku tak perlu repot-repot membawa atau membeli makan siang. Saking baiknya para dosenku, sudah memberikanku pekerjaan, dengan fasilitas penuh, termasuk makan siang bahkan kamar tidur yang bersebelahan langsung dengan kantorku.

Bip Bip Bip Bip

"Maaf ya, Dek. Mas ndak bisa malam ini. Mas mau nyiapin materi untuk pelatihan esok."

Makan siangku terhenti, aku tak bisa menelan butir-butir nasi yang telah masuk dalam mulutku.

"Tapi, kita harus ke dokter Mas. Biar kita tahu sakitnya apa dan obatnya apa." Aku masih berharap dia mau berubah pikiran.

"Maaf, sekali lagi. Aku gak akan bisa sembuh."

Kujauhkan makanan itu dari hadapanku. Aku jengkel sekali. Aku marah. Untung sedang tak ada siapapun di kantor. Hanya aku yang sedang makan siang ditemani Televisi di sampingku.

Mengapa dia pengkuh sekali? Mengapa dia seyakin ini kalau dia tak akan bisa sembuh? Tahu peyakitnya saja belum. "Wait, apa sebenarnya dia sudah tahu?" tanyaku pada diriku sendiri. Kalau dia sudah tahu penyakitnya sebelum menikah denganku, berarti dia orang yang jahat sekali, hingga menikahiku namun tak jujur denganku sedari awal.

Mengapa dia setega ini denganku. Dia menikahiku, namun dia tak berusaha untuk membahagiakanku. Pintaku kali ini tak banyak, hanya pergi ke dokter untuk memastikan keadannya dan mencari solusi. Bukan membiarkan dengan kalimatnya yang menuhan bahwa "aku tak bisa sembuh."

Aku benar-benar tak ingin rasanya bertemu dengan dia malam ini. Namun jika aku tak pulang, apa kata Umi dan saudara-saudara. Sebagai istri aku harus tetap menjaga kehormatan dan menghargai keputusan suamiku.

Manawa tan suka nini, aja sira paripaksa, pan sirik jenenging wadon. Iku wadining wadon, marang ing kakung ira. Estokena wulang ingsung, den manis tembung ira. Begitu ajaran sastra jawa dalam serat Patimah yang pernah kupelajari.

Yang berarti bahwa ketika istri kurang berkenan dengan keputusan suami, istri hendaknya menahan diri. Ketika menyampaikannya juga harus dengan kata-kata yang halus, sopan, tanpa amarah. Dan jika sampai terjadi sebaliknya, itulah aib wanita.

Aku harus tetap terlihat baik-baik saja. Aku harus pulang dengan semua hal yang wajib kusimpan rapat-rapat.

"Nduk, siapno maem e bojomu. Umi maeng gak masak. Ono endog iku ning kulkas." Pinta Umi setelah aku bersih diri selepas pulang kerja.

"Umi udah makan? Ada Nasi ndak Mi?"

"Iyo durung."

"Nggehpun Mi, Bening bikinin nasi goreng aja nggeh buat makan malam?"

"Iyo, Nduk. Sembarang."

Aku masih masak di dapur hingga terdengar suara motornya Mas Banyu datang. Cepat-cepat aku matikan api kompor, dan berusaha menyambut Mas Banyu keluar dengan senyumanku.

"Assalamualaikum.." Kuraih tangannya sambil kucium punggung telapaknya. Umi melihatnya, kulirik saja. Umi tersenyum. Setidaknya Umi pasti bahagia melihat kami seolah bahagia.

"Waalaikumsalam.." dia menjawab singkat dan lalu bergegas untuk mencium Umi sebelum ke kamar dan mandi.

Kukembali ke dapur, menyelesaikan nasi goreng untuk makan malam kami. Namun tiba-tiba saja datang keluarga Mbak Fira beserta anak-anaknya, Arya dan Arin.

Kupeluk LukakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang