#5 Liburan

504 15 7
                                    

Selepas pertemuanku yang pertama kali dengan Mas Banyu. Hampir setiap hari ada percakapan kami berdua. Entah karena sengaja menyapa atau sekedar membalas status BBM masing-masing. Isinya hanyalah diskusi tentang target dan tujuan kami berdua. Terlebih Mas Banyu sedang riweh dengan tesis dan persiapannya menuju ajang guru berprestasi.

Namun, ada satu kesempatan ketika bercerita tentang cinta, dia menanyakan kriteria pasangan hidupku seperti apa. "Lelaki sholeh yang se-visi dengan Bening. Mampu menjadi sosok laki-laki yang mencintai dan meilindungi Bening." Jelasku padanya. Lantas akupun bertanya sebaliknya. Kurasa percakapan kami sedikit menjurus ke arah yang sebenarnya aku inginkan.

"Mirip denganmu, Dek. Se-Visi, namun terlebih adalah perempuan yang mau menerimaku dan keluargaku. Tentunya mau kuajak hidup bersama Abah dan Umiku di Surabaya. Karena akulah tulang punggung keluargaku saat ini."

PAS! Hidup di Surabaya? Batinku. Sungguh telah menjadi mimpiku. Aku ingin hidup di kota itu saat sudah benar-benar dewasa. Itu adalah mimpiku sejak kecil. Sejak ibuku sempat mengenalkanku ke kota ini saat ibu berkunjung ke rumah saudaranya.

"Eh Dek. Masih ingat tawaranku kapan waktu tentang liburan bareng?" lanjut tanyanya via Whatsapp.

"He'em. Emangnya kenapa Mas?"

"Begini dek, ini kan liburan keluarga guru. Artinya satu guru dengan keluarga masing-masing. Kamu tahu kan aku ini masih jomblo. Hahaha.. Terus mau ngajak umi itu udah sepuh, ngajak adek juga lagi sibuk sama tugas akhirya, ngajak temen-temenku juga pada gak bisa. Kamu bisa ndak nemenin aku? Biar aku gak digojoloki guru-guru kalau sendirian?"

Mataku terbelalak. Dalam hatiku terus bertanya. Ini beneran Mas Banyu ngajakin aku liburan? Mana liburannya sama rombongan teman-teman dan keluarga tempat dia bekerja. Lantas apa kata mereka?

"Emm.. Emangnya kemana Mas? Mas yakin ngajakin aku? Gimana nanti sama teman-temannya Mas? Boleh ndak?" Tanyaku memastikan apakah benar-benar nantinya aku bisa diterima di lingkungannya.

"Ke Malang, Dek. Iya, aku udah tanya ke kepala sekolah dan panitia, boleh kok bawa teman. Malah mereka suruh ngajak kamu."

"Lhah.. emang teman-temannya mas udah kenal aku?" tanyaku terheran-heran.

"Udah.. Mereka udah tak ceritain tentang kamu. Hahahaha... Makanya terus malah suruh ngajakin kamu.."

Semakin kesini aku semakin tidak paham dengan Mas Banyu. Apa saja yang sudah dia ceritakan ke rekan-rekan kerjanya tentang aku. Mengapa dia berani sekali mengajakku berlibur bahkan dengan reka-rekan kerjanya yang sebenernya notabene kita baru saja kenal.

"Emm.. Bening mau ijin Ibu dulu ya Mas.. InsyAllah besok Bening kabari. Kapan berangkatnya? Dan berapa lama? Dan... Gratis kan ini? Hahaha.." Jawabku sambil berpikir apa yakin ibuku akan beri ijin. Mas Banyu belum pernah aku kenalkan ke ibu. Bisanya ibu agak selektif untuk bisa membiarkan putrinya keluar dengan orang yang tidak dikenalnya.

"Siap. Mas tunggu ya, Dek."

***

Tut Tut Tut

Nada tunggu ke nomor telpon ibuku. Saat itu juga aku langsung menghubungi ibuku.

"Assalamualaikum..." terdengar suara cemprengnya ibuku.

"Waalaikumussalam.. Ibu sehat?"

"Alhamdulillah sehat. Kok glani telpon, ndak SMS ae? Entek pulsa akeh lho. Iki bedho operator.." Oceh ibu dengan logat Mojokertoannya saat ku telpon, karena kami ini termasuk manusia manusia yang 'eman' pulsa karena tahu bagaimana susahnya mencari uang. Jika masih bisa dibicarakan lewat SMS, kami lebih senang dan nyaman menggunakan SMS.

Kupeluk LukakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang