Adam terbangun sejam kemudian, di sebuah ruangan yang cukup besar. Tersadar dengan cepat bahwa lengannya sedang tersambung dengan selang infus. Sementara ia hanya mengenakan celana abu-abu seragam sekolahnya dan bertelanjang data
Aku di mana?
Potongan kejadian terakhir tersusun dalam kepalanya. Dia pingsan setelah menyaksikan sendiri mata merahnya lewat pecahan kaca.
Adam berusaha duduk. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk bergerak, namun ia tetap memaksakan diri untuk duduk bersender pada dinding di belakang ranjang.
Samar-samar Adam mengingat tempat ia terbangun. Dinding dengan cat hitam dengan berbagai poster tim sepak bola Liverpool, rak buku di seberang ranjangnya, dan nakas kayu di sampingnya, ini kamar tidurnya. Satu-satunya yang berbeda dari kamar tidurnya hanyalah alat infus di samping kirinya, serta alat pacu jantung di sebelah rak buku.
BRAAK, terdengar suara benturan dari bawah ranjangnya.
“Aaaah…kepalaku astaga…,” Seseorang bergumam.
“Jo?” Adam mendelikkan kepalanya ke bawah ranjangnya. Dan disanalah dia, Jo, sedang mengusap kepalanya yang terantuk ranjang Adam.
“Ngapain kau disana? Tadi juga kau kemana waktu pergi ngambil kapur barus?”
“Hah? Oh Adam sudah siuman toh, orang itu seenak hatinya, menyuruhku tidur di bawah ranjang,” Jo menggeliat keluar dari bawah ranjang Adam.
“Tadi waktu disuruh ngambil kapur barus, tiba-tiba kepalaku dihantam pake pemukul kasti, pingsan deh, terus aku dibangunin om-om gak jelas.”
“Om-om mana?” Adam memandang Jo keheranan.
“Itu lho, om-om gondrong yang sok keren,”
“Yang mana sih?”
“Om-om yang bawa pedang, seriusan gak tahu?” Sekarang gantian Jo yang memandang Adam keheranan.
Sebagai balasan Adam menggelengkan kepalanya. Jo menghela nafas kasar. “Sudahlah, kau disini dulu saja, biar kupanggil om-om sok keren itu,” Jo melenggang kearah tangga.
“Hei om, Adam sudah siuman!”
“Jangan panggil aku om, brengsek!”
Sebuah suara bariton terdengar dari bawah tangga. Derap kaki terdengar menaikki tangga. Adam menelan ludah, siapa orang yang dimaksud Jo? Jika di dengar dari suaranya tadi, nampaknya ia orang yang kasar atau mungkin tegas, dengan badan kekar dan berotot.
“Kau sudah bangun rupanya, eits jangan berdiri dulu Adam, kau masih lemah,” Seorang pria mengenakan kemeja lusuh mendekati ranjangnya.
Adam melongo, bayangannya mengenai pemilik suara bariton itu meleset jauh. Bukannya berotot atau kekar, melainkan kurus, dan jangkung. Rahangnya tegas, dengan tulang-tulang pipi yang menonjol. Sedang rambutnya hitam panjang hingga tengkuknya.
“Dimana Eve?” Adam menatap orang itu lekat-lekat. Satu-satunya yang membebani pikirannya sekarang ialah Eve.
“Eve?” Pria itu menaikkan sebelah alisnya.
“Hhhh…itu lho cewek yang hampir kau perkosa tadi.” Jo menjawab santai.
BUUUUUGH....
Adam melancarkan pukulan ke pipi pria berjambang itu, membuatnya oleng dan menabrak nakas kayu. “Kau apakan Eve?” Adam mencengkram kerah kemejanya, matanya menatap jijik orang di depannya.
“Ugh…aku hanya menggendongnya ke dalam kamar di bawah tangga.” Pria itu berhenti sejenak untuk mengusap darah yang keluar dari mulutnya.
“Lalu, aku suruh teman sialanmu itu untuk mengambilkan alat infus di dalam mobilku, saat dia kembali ke kamar, dia melihatku sedang memasangkan perban di paha pacarmu itu.” Pria itu berpaling memberi tatapan membunuh kearah Jo. Jo mengangkat bahunya santai.
“Tenanglah, ibumu sedang merawat pacarmu itu sekarang.” Pria itu kembali mengusap darah yang keluar dari mulutnya.
Semburat kemerahan terpancar di wajah Adam saat pria itu mengira kalau Eve pacarnya. Adam melepas cengkramannya, mengingat Eve memang terluka parah, jadi wajar saja kalau pria di hadapannya ini memasang perban di paha Eve. Tapi tetap saja Adam cemburu, selama sepuluh tahun bersama Eve, belum pernah ia menyentuh tubuh gadis itu kecuali tangan dan wajahnya.
“Adam, matamu!” Jo mendekat, mendorong pria berwajah oriental itu menyingkir dari hadapan Adam. Adam meraba wajahnya, dengan cepat ia menarik cermin dari atas nakas. Ia berjengit, kembali dilihatnya bola matanya berubah merah.
“Apa ini sebenarnya?” Adam kembali meletakkan cermin di atas nakas. Ia duduk di pinggir ranjang, sanbil memegangi kelopak mata kanannya.
“Berapa usiamu?” Pria jangkung itu menyibakkan rambut ikalnya. Adam mengernyit tidak mengerti. “Berapa usiamu?” Ulang si pria jangkung.
“16 tahun.”
“Tahun ini?”
“Eh…17 bulan depan.” Adam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Ah…akil baliq, berarti sudah waktunya ya.”
Adam mengernyit, dia benar-benar bingung. “Apa maksud anda tuan…eh.”
“Shimura Karamatsu, panggil saja Karamatsu.” Pria itu melenggang ke arah rak buku, ia mengambil sebuah buku bersampul kuning, lantas duduk di sebelah Adam. “Nah Adam, bagaimana pendapatmu tentang dia.” Karamatsu menunjukan sebuah halaman dengan gambar seorang malaikat yang di dorong jatuh oleh malaikat lain, gambar Lucifer yang di dorong oleh Mikael.
“Menjijikan.” Adam menatap gambar itu dengan ekspresi jijik, mengingat ayahnya yang dibunuh oleh seseorang yang kerasukan Lucifer.
“Bagaimana jika kukatan kalau, orang yang ada di gambar ini adalah ayahmu?” Karamatsu menyentuh gambar Lucifer.
Thanks for reading
Tinggalkan jejak dengan klik ⭐
Jangan segan-segan komen
KAMU SEDANG MEMBACA
Son Of Venus
ÜbernatürlichesBagaimana jika seorang pria misterius datang ke rumahmu, lantas melontarkan tiga kata berikut. "Kau putra Lucifer." Satu bulan sebelum akil baliq, Adam Samael Raiden harus menerima fakta aneh, dirinya adalah putra sang pangeran neraka, sekaligus sa...