Chapter 8

37 7 2
                                    

Seorang gadis muda duduk termenung. Wajahnya yang elok, tertutupi oleh poninya yang menggantung hingga hidung, mimik wajahnya datar dan dingin, sedang matanya dikelilingi lingkaran hitam. Ia mengenakan sari hitam yang lusuh. Penampilannya membuat orang yang berjalan, dan tak sengaja melihatnya bergidik ngeri.

DUUUGH.

Sebuah bola sepak menggelinding, dan menabrak kakinya. Gadis itu mengambil bola sepak itu, ia melirik ke kanan dan ke kiri, memperhatikan kalau saja ada yang kehilangan benda yang kini ia pegang. Sekelompok bocah laki-laki berdiri tak jauh darinya. Mereka saling berbisik sambil sesekali meliriknya. Gadis itu mendekati mereka.

“Apa ini bola kalian?” tanyanya dengan nada paling hangat yang bisa ia keluarkan.

“Ah anu, iya pu-punya ka-mi.” Salah seorang dari mereka maju perlahan-lahan.

“Ini, ambillah.” Gadis itu menyodorkan bola sepak sambil tersenyum. Bocah yang maju tadi menerima bolanya. “Terima kasih, anu, mau main sama-sama, ka-kau kelihatannya tidak punya teman ngobrol.” Gadis itu terdiam sejenak, lantas ia mengangguk. “Aku bisa jadi kipper, dulu waktu sekolah aku sering jadi kipper.”

“Baik kita langsung bagi dua tim, ayo teman-teman.” Bocah itu melenggang ke arah teman –temannya. Permainan dimulai, gadis itu melakukan pekerjaannya dengan baik, menghalau semua bola yang nyaris masuk ke gawang timnya.

PROOOT.

Salah seorang bocah jatuh ke kolam lumpur, gadis itu segera berlari dan menarik tubuh kecil si bocah dari dalam kolam. “Astaga, kau tidak apa-apa?” Bocah itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menyebabkan lumpur mengenai teman-temannya, mereka berenam saling pandang, lantas tertawa.

Bagi gadis itu, ini adalah kali pertamanya ia tertawa bersama orang lain, dan mungkin ini adalah tawa pertamanya sejak setahun ini.

“Amol!” Seorang wanita mengenakan sari berwarna merah menarik tangan bocah yang jatuh ke lumpur tadi.  “Jangan main dengan perempuan itu!” bentak si wanita ber-sari merah tadi. “Bibi Kavyaaa! Kakak ini baru saja menyelamatkan Amol yang jatuh tadi!” Bocah-bocah itu berseru kepada wanita tadi. Wanita itu membalikkan tubuhnya. “KALIAN JUGA JANGAN DEKAT-DEKAT PEREMPUAN ITU! PULANG-PULANG SEKARANG!” seru wanita yang dipanggil Kavya tadi.

Bocah-bocah itu memandang iba ke arah gadis berponi panjang itu. Gadis itu tersenyum, lantas berucap, “Pulanglah, tidak apa aku juga akan pulang, sudah siang, waktunya makan siang.” Bocah-bocah itu mengangguk, lalu mereka berlari sambil melambaikan tangan kepada gadis misterius itu.

“Pffft…lucu sekali, pulanglah sudah waktunya makan siang.” Seorang pria tiba-tiba muncul  di balik semak.

“Sejak kapan kau memperhatikanku Marbas?”

“Entahlah, sejak kau main bola mungkin.” Marbas terkekeh. Gadis itu memutar malas bola matanya. “Kau mau apa di sini?”

“Ah sekilas info saja, putra Lucifer sudah sadar akan kekuatannya.” Marbas tersenyum miring. Gadis itu pelotot, ia berbalik memandang Marbas. “Dari mana kau tahu?”

Marbas bersiul, seekor Labrador hitam muncul entah dari mana. “Tentu saja sumber terpercaya seperti dia.” Marbas menunjuk si Labrador. “Aku akan berkemas.” Gadis itu berlari, sari hitamnya bergoyang-goyang mengikuti gerak kakinya.

*****

“Itu dia pelakunya!” Adam menunjuk patung Maneki Neko yang menggerakkan kaki kanannya. Bau dupa semakin menguat ketika Adam menunjuk patung kucing emas di atas meja.

“Aku tak yakin, tapi mari kita periksa.” Karamatsu bergerak mendekati patung Maneki Neko, ia menyentuhnya, seperti merasakan aliran listrik berjuta watt, Karamatsu terlempar hingga menabrak dinding di ujung ruangan. Karamatsu meringis, jelas ia merasakan kekuatan supranatural yang sangat besar.

Son Of Venus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang