Bab 2

147 29 5
                                    

Oh Hayoung menguap lebar sambil menggeliat dengan malas. Sinar matahari mengintip masuk lewat celah-celah jendela dan membuat matanya menyipit karena silau. Ia bangkit menyusun bantal hingga tinggi, kemudian menyandarkan punggungnya ke belakang. Sambil duduk, ia memperhatikan sekeliling ruangan dengan kening berkerut. Mengapa ia ada di kamar ini? Bukankah semalam ia tertidur di atas sofa?

Hayoung memiringkan wajahnya sambil terus berpikir. Pantas saja semalaman ia merasa tubuhnya hangat dan tidurnya nyaman sekali. Apa lelaki itu yang memindahkan dirinya ke dalam kamar dan bertukar tempat dengannya? Atau jangan-jangan malah...?

Hayoung buru-buru menggelengkan kepala karena tidak ingin memikirkan kemungkinan itu. Oh Sehun pasti lelaki baik. Dan itu sudah terbukti karena ia mau menolong dan mempersilakan Hayoung untuk bermalam, padahal mereka tidak saling mengenal. Namun sudahlah, Hayoung malas untuk membahasnya lebih panjang karena otaknya sekarang diingatkan kembali pada kejadian semalam, sebelum ia bertemu dengan Sehun. Ia masih tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Mengetahui bahwa ia sudah tidak memiliki apa-apa, itu benar-benar....

Hayoung menggeleng lagi dengan cepat. Tidak mau terlarut dengan kesedihan yang menimpanya, ia segera turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar.

"Kau sudah bangun?"

Hayoung terlompat kaget mendengar suara berat itu. Tubuhnya berputar cepat, mendapati pemilik tempat ini sedang tersenyum dari arah meja makan yang menyatu dengan dapur kecil.

"Mengapa aku bisa ada di kamarmu? Mengapa kau tidak membangunkanku?" tanya Hayoung sembari berjalan menghampirinya.

Sehun hanya menggeleng. "Sepertinya kau sangat kelelahan karena tidurmu pulas sekali. Aku tidak ingin mengganggumu." Lalu, ia memberikan selembar roti lapis ayam ke depan piring Hayoung yang langsung ditanggapinya dengan kening berkerut. Karena melihat ekspresi yang diberikan, akhirnya ia melanjutkan, "Aku tidak tahu bagaimana kau sarapan setiap paginya, jadi kuharap kau tidak keberatan untuk menerima itu."

Hayoung mengangguk. "Terima kasih."

"Tadi pagi sepupumu menelepon karena dia masih belum bisa menghubungi ponselmu. Mungkin, sebentar lagi dia akan datang."

Mata Hayoung seketika berbinar. "Benarkah?"

Sehun hanya mengangguk.

Tiba-tiba Hayoung bangkit dari kursi, mendekat ke arah Sehun dan langsung menggenggam tangan kanan laki-laki itu. "Terima kasih. Sungguh aku sangat berterima kasih padamu, Sehun-ssi. Kau sudah banyak membantuku," ujarnya, membungkuk berkali-kali. "Terima kasih banyak."

Sehun jadi salah tingkah. Ia menarik tangannya yang digenggam dan tersenyum canggung. "Aku hanya membantu sebisaku saja. Duduklah."

Hayoung menurut dan kembali melanjutkan sarapannya yang tertunda.

Setelah hening beberapa detik, Sehun berdeham. "Jadi, apa rencanamu selanjutnya?"

Hayoung mendongak. Tak lama kemudian, ia mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Mungkin aku akan mencari pekerjaan di sini dan mengumpulkan uang."

Sehun menatap Hayoung dengan iba. "Mengapa kau tidak menghubungi orangtuamu saja?"

"Tentu saja itu tidak mungkin!" teriak Hayoung tiba-tiba. "Aku jauh-jauh dari Jakarta, datang ke sini karena ingin melarikan diri. Aku ingin menjauh dari semua orang-orang itu! Aku ingin mencari udara segar dan jika aku memberitahukan orangtuaku bahwa aku dirampok dan sudah tidak nemiliki apa-apa lagi di sini, mereka pasti langsung menarikku pulang dan aku akan bertemu orang itu! Aku belum siap!" Ia menangkupkan kedua tangan ke depan wajah dan tiba-tiba menangis. "Mengapa hidupku selalu saja tidak beruntung? Apa salahku sebenarnya? Mengapa aku merasa dunia ini selalu menolak kehadiranku? Tidak di sini, tidak juga di negaraku sendiri."

Warm SnowfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang