Bab 22

126 23 3
                                    

Jakarta, Indonesia

3 days later....

"Tentu saja aku tidak datang ketika Sehun menikah," seru Jiyeong di telepon dengan santai. "Apa kau tahu?" Volume suaranya diperkecil seolah-olah takut ada orang lain yang mendengar. "Aku dan Jongin melarikan diri darinya dan kita bersenang-senang di Daegu."

Hayoung hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum tipis. Ia memindahkan telepon rumahnya dari telinga kiri ke telinga kanan, lalu mendesah pelan. "Jangan seperti itu padanya. Kasihan Sehun. Kau dan Jongin adalah teman terdekatnya, jadi sudah pasti dia sangat membutuhkan kalian untuk menjadi saksi pernikahannya."

Jiyeong mendengus. "Tentu saja aku tidak ingin melukaimu Hayoungie," serunya tidak setuju. "Dengan kami menyetujui untuk menjadi saksi mereka, itu sama artinya kami menambah sakit di hatimu."

Mendengar itu Hayoung hanya tersenyum. Tentu saja hal itu akan menyakitinya karena walau sudah sembilan hari berlalu sejak ia kembali ke Jakarta, tetapi ia masih sangat sulit untuk menyingkirkan rasa yang salah ini dalam hatinya.

"Hayoungie, kau tidak apa-apa?" tanya Jiyeong. Suaranya berubah cemas. "Ngomong-ngomong, ponselmu mengapa tidak bisa dihubungi heh?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Sudah berkali-kali kucoba, tapi tetap saja tidak ada nada sambung sama sekali. Apa kau ganti nomor?"

Hayoung tersentak. "Oh itu." Tak lama ia cengengesan. "Ya, nomorku telah kubuang."

"Apa?!" teriak Jiyeong di seberang.

Hayoung langsung menjauhkan gagang teleponnya dari telinga. "Astaga," desahnya malas. "Apa kau tidak bisa jika tidak berteriak heh?!"

"Tadi kau bilang apa?" Jiyeong tidak memedulikan omelan Hayoung. "Nomormu kau buang? Aigoo!" Terdengar helaan napas lelah dari suara Jiyeong. "Segitu parahkah hatimu sampai-sampai kau membuang nomor yang tidak bersalah?"

Hayoung tertawa. "Kau ini melebih-lebihkan sekali. Tenang saja, nanti kukirimkan nomor baruku kepadamu."

"Tentu saja harus," seru Jiyeong cepat. Setelah jeda beberapa detik, Jiyeong bersuara kembali. "Hayoungie,kereta kami sebentar lagi akan tiba," gumamnya terburu-buru. "Nanti aku akan menghubungimu kembali jika sudah sampai di rumah, ya."

Hayoung mengangguk. "Ya, kau hati-hati di sana."

"Jangan lupa secepatnya kirim nomor barumu padaku," tambah Jiyeong sebelum menutup teleponnya.

Hayoung mengangguk lagi walau tahu Jiyeong tidak bisa melihatnya. Setelah meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, ia menghela napas panjang. Mengapa setiap selesai menerima telepon dari Seoul, hatinya terasa berat sekali, seakan-akan ada sesuatu beban yang menindihnya.

Tidak! Ia buru-buru menggelengkan kepalanya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menghilangkan perasaannya dan hanya mengenang Sehun saja. Tidak boleh lebih karena laki-laki itu pun sekarang sudah menjadi milik orang lain dan berbahagia.

Tanpa sadar sebutir air mata jatuh di pipinya dan dengan cepat ia menghapusnya dengan punggung tangan.

Ternyata yang namanya perasaan memang tidak bisa dibohongi. Sekeras apa pun ia telah berusaha, jika itu cinta, maka akan tetap menjadi cinta.

***

Sehun masih tidak merasa baik karena pikirannya terus saja tertuju pada Hayoung. Sudah tiga hari ini ponsel gadis itu tidak bisa dihubungi dan ia benar-benar merasa frustasi. Ia ingin sekali bertanya pada Jiyeong mengenai kabar terakhir gadis itu. Tetapi Jiyeong ataupun Jongin seperti ditelan bumi. Tidak ada kabar beritanya. Tidak ada di kafe,di rumah, bahkan ponsel mereka saja juga ikut-ikutan tidak bisa dihubungi.

Warm SnowfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang