Bab 18

108 14 1
                                    

Sehun masih terbaring di tempat tidur ketika mendengar bel pintu apartemennya dibunyikan oleh seseorang dari luar. Ia masih terlalu mengantuk untuk bangkit berdiri. Kepalanya masih terasa berat karena tidak bisa tidur semalaman memikirkan Hayoung. Lagi pula, pagi-pagi seperti ini, siapa orang yang sudah rajin bertamu? Ia malas memedulikan bel pintu yang masih berbunyi berkali-kali. Ia malah menarik selimutnya dan bersembunyi di sana. Posisinya sudah sangat nyaman untuk tetap memejamkan mata dengan selimut.

Suara bel pintu itu terdengar lagi dan kali ini ditambah dengan suara teriakan seseorang. "Hunnah, apa kau ada di dalam?"

Mendengar namanya disebut, sontak membuat Sehun tersentak dan bangkit dari ranjang. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak. Suara Naeun...tetapi mengapa gadis itu tidak langsung masuk saja? Bukankah ia memiliki kunci cadangannya?

"Hunnah!"

Sehun mengerang pelan. Ia memaksakan dirinya untuk bangkit dengan susah payah dan turun dari tempat tidur. Perlahan ia memijat-mijat pelipisnya karena masih merasakan pusing. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Wajah Naeun yang tersenyum manis langsung terpampang jelas di depan dengan kantong plastik besar berisi bahan makanan yang dijinjingnya.

Sehun mendesah berat, mempersilakan Naeun masuk. "Mengapa kau tidak masuk saja? Bukannya aku sudah memberimu kunci apartemen ini?"

Naeun berjalan mendahului Sehun menuju dapur. "Kunci itu tertinggal di apartemenku," sahutnya sambil mengangkat bahu. "Kau pasti belum makan?"

Sehun hanya bergumam tidak jelas. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di dekat meja di samping sofa, lalu menyusul Naeun ke dapur dan duduk di salah satu kursi makan. Ia menyalakan layar ponselnya, berharap akan ada pesan teks atau pesan suara yang masuk, tetapi layar ponsel itu masih tetap sama dengan kali terakhir ia melihatnya. Oh Hayoung sama sekali tidak memedulikan pesannya semalam.

"Tadi aku sempat mampir ke kafemu. Kukira kau sudah datang."

Sehun mendongak, menatap Naeun yang tersenyum singkat ke arahnya, sebelum kembali berkonsentrasi memotong-motong sayuran.

"Aku sedang tidak enak badan," gumam Sehun beralasan sambil memijat pelipisnya lagi untuk meredakan rasa pusing yang kembali menyerang.

"Sudah minum obat?" tanya Naeun yang langsung menghentikan kegiatan memasaknya dan menatap Sehun khawatir.

Melihat tatapan Naeun seperti itu, Sehun buru-buru memaksakan senyum. "Aku tidak apa-apa."

Naeun mendesah, tak lama berkacak pinggang. "Kau ini." Ia berjalan menghampiri Sehun dan meletakkan sebelah tangannya ke kening Sehun. "Sebaiknya kau tidak perlu ke kafé hari ini."

Sehun buru-buru menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Sungguh. Hari ini aku ingin bertemu Jiyeong untuk menanyakan kabar Hayoung."

"Hayoung?" Kening Naeun berkerut samar.

Sehun mengangguk pelan. "Ya, aku ingin memastikan jika gadis itu baik-baik saja."

Kening Naeun semakin berkerut. "Memangnya apa yang terjadi dengan Hayoung? Mengapa kau sampai begitu mengkhawatirkannya?" tanyanya seraya memicingkan mata curiga.

"Hayoung telah kembali ke Jakarta," sahut Sehun lemah. "Dan sebagai mantan pegawaiku, tentunya aku harus memastikan keadaan Hayoung baik-baik saja sekarang," lanjutnya tanpa menyadari ada perubahan dari wajah Naeun.

Tiba-tiba Naeun mendengus dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Sejak kapan kau begitu peduli dengan pegawai-pegawaimu?" tanyanya dengan nada curiga. "Jika dia sudah pulang ke negaranya dan tidak bekerja di kafemu lagi, bukankah seharusnya kau sudah tidak ada urusan apa pun dengannya?"

Warm SnowfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang