Bab 7

83 20 0
                                    

Hayoung berjalan dengan tergesa-gesa keluar dari dapur dengan ponsel yang sudah tertempel ke telinga. "Aku baik-baik saja," ucapnya berbisik. Ia menaiki anak tangga menuju beranda lantai dua yang dirasa aman untuk berbicara tanpa membuat ibunya curiga dengan keberadaannya sekarang.

"Mengapa kau tidak menghubungiku ketika tiba di Seoul?" Suara panik ibunya terdengar nyaring di telinga. "Kau membuatku khawatir saja. Kapan kau akan pulang? Bagaimana keadaanmu di sana? Apa kau kekurangan uang? Tidurmu nyenyak? Apa kau sering terkena flu? Apakah~"

"Maaah," sela Hayoung cepat karena kalau tidak, masih akan panjang sekali rentetan pertanyaan dari sang ibu. Setelah suara di seberang benar-benar terdiam, barulah ia melanjutkan, "Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku."

Terdengar helaan napas lega di telepon. "Syukurlah, aku khawatir padamu karena aku takut kau pergi ke Seoul bukan untuk bersenang-senang, tapi karena...mm...kau pasti sudah tahu mengenai mantan kekasihmu yang beberapa hari kemarin baru saja menikah. Siapa namanya?"

Hayoung agak tersentak. Mengapa ibunya malah kembali mengingatkan tentang itu? Sebelum menjawab ia menarik napas sejenak untuk meredakan emosi yang mendadak muncul. "Varen," jawabnya lemah.

"Oh benar, laki-laki itu," sahut Ibunya. "Tapi kau tidak apa-apa?"

Hayoung menarik napas lagi, menahan emosi yang tiba-tiba muncul di hatinya, kemudian mengembuskannya dengan pelan sambil memejamkan mata. "Aku tidak apa-apa."

"Ah rupanya kau di sini Hayoung-ssi."

Hayoung menoleh ke arah suara berbahasa Korea dan melihat Jongin panik sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

"Mah, aku harus menutup teleponmu karena Jiyeong memanggil," ucap Hayoung berbohong. "Nanti akan kutelepon kembali." Setelah berkata begitu, ia memutus sambungan teleponnya dan berjalan mengikuti Jongin turun ke bawah.

"Wae geuraeyeo?" tanya Hayoung dengan bahasa Koreanya yang kaku.

Jongin menunjuk ke arah meja nomor tiga di salah satu pojok sana yang sedang diduduki oleh seorang lelaki dan wanita.

"That man and women are Indonesian people. I can't speak Indonesian language, and they can't speak English language. Sehun isn't right here now, so can you help them?" salah satu pegawai kafé bernama Sangmi menjelaskan.

Jongin pun ikut mengangguk dan terus menunjuk ke arah meja itu.

Hayoung mengerti. Ia bergegas mengambil buku menu di atas meja dan berjalan menghampiri mereka. "Selamat datang di kafé kami," sapanya ramah dengan bahasa Indonesia sembari membungkukkan tubuhnya. Ia baru ingin menjelaskan menu apa saja yang tersedia di kafé, namun, suaranya langsung tercekat di tenggorokan ketika melihat wajah lelaki dan wanita tersebut.

Lelaki itu mendongak dan ia pun ikut terkejut ketika matanya bertatapan dengan mata Hayoung. "Youngie?"

Napas Hayoung naik-turun menahan desakan emosi yang kembali muncul dan seakan ingin meledak. Ia tidak menyangka bisa bertemu dengannya secara kebetulan di tempat semacam ini, bahkan harus melihatnya kembali bersama dengan wanita yang telah merenggut lelaki itu darinya.

"Youngie? Kenapa kau ada di sini?" tanya laki-laki itu heran.

Hayoung tidak menjawab dan malah berbalik pergi. Namun, lelaki itu menarik tangannya.

"Tunggu dulu, aku ingin bertanya mengapa kau ada di sini?" tanya laki-laki itu lagi. "Jadi yang dikatakan teman-temanmu itu benar? Bahwa kau melarikan diri ke negara ini karena ingin menjauh dariku?"

Hayoung menarik tangannya dengan kasar dari genggaman laki-laki itu. Ia mendelik tajam dan berusaha menahan emosinya yang benar-benar ingin meledak, apalagi ketika mendengar ucapannya tadi.

Warm SnowfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang