Bab 11

102 18 1
                                    

Hayoung tersenyum-senyum sendiri sambil sesekali melirik topi wool ungu yang sedang dipegangnya. Entah mengapa, sejak pulang dari jalan-jalan bersama Sehun waktu itu, hatinya selalu diliputi perasaan bahagia dan berbunga-bunga. Rasa sakit dan nyeri di dada yang pernah ada saat kali pertama tiba di negara ini sama sekali tidak ia rasakan lagi, bahkan ketika telah bertemu kembali dengan Varen.

Ini sungguh ajaib. Hanya karena mengingat setiap momen-momen indahnya bersama Sehun, ia bisa jadi lupa diri. Sehun benar-benar bisa menyembuhkan luka hatinya secara perlahan-lahan.

"Apa bibirmu tidak lelah selalu tersenyum-senyum seperti itu?"

Hayoung terkesiap mendengar suara Jiyeong dengan nada menggoda. Wajahnya merona merah dan ia jadi gugup ketika mendapati gadis itu sedang berdiri dan tersenyum penuh arti di depan pintu toilet.

"Aku jadi penasaran, sudah sejauh apa hubunganmu dengan Sehun akhir-akhir ini?" tanya Jiyeong seraya berjalan ke arah meja riasnya.

Hayoung buru-buru menyembunyikan topi wool ungu pemberian Sehun itu ke bawah bantal. "Apa maksudmu?"

Jiyeong mendengus. "Tentu saja kau sangat tahu maksudku Oh Hayoung," sahutnya, kali ini sambil memoleskan bedak ke wajah. "Sejak pulang dari kafe Sehun kemarin, bibirmu itu tak henti-hentinya tersenyum, bahkan dalam tidur pun kau mengingau menyebut namanya."

Mata Hayoung melebar kaget. "Aku ap—apa? Mengingau katamu?"

Jiyeong mengangguk. Ia melirik sejenak ke arah Hayoung dari cermin meja riasnya. "Tentu saja kau tidak akan ingat. Kau tertidur pulas."

Hayoung mendengus. "Tidak mungkin." Tidak mungkin ia mengingau karena selama ini ia memang tidak pernah mengingau jika sedang tertidur. "Kau pasti bercanda."

Jiyeong hanya mengangkat bahu. "Terserah kalau kau tidak percaya." Ia bangkit dari meja rias, lalu menoleh sejenak ke arah Hayoung. "Kau menyukai Sehun, kan?" godanya. "Ah akhirnya sepupuku ini bisa juga jatuh cinta kembali."

"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya," bantah Hayoung semakin gugup. "Kau tahu, aku ke sini bukan untuk jatuh cinta tapi—"

"Untuk menenangkan diri, kan?" Jiyeong menyela kalimat Hayoung. "Dan tanpa kau sadari, ternyata kau jatuh cinta pada laki-laki Korea bernama Oh Sehun?"

"Park Jiyeong!"

"Aku tahu gerak-gerikmu Oh Hayoung. Walau kau tidak menceritakannya, tapi aku bisa melihatnya kalau kau menyukai Sehun."

Hayoung ingin membuka mulut, tetapi ia urungkan kembali. Akhirnya ia hanya mengembuskan napas karena percuma saja jika ia membantahnya, ia tetap tidak akan pernah menang dari Jiyeong, dan jika diteruskan, nantinya malah akan ketahuan jika ia memang menyukai Sehun. "Terserah apa katamu sajalah. Yang pasti aku memang tidak ada hubungan apa-apa dengan Sehun seperti yang ada di pikiranmu itu."

Jiyeong tersenyum puas, memandang mata Hayoung masih dengan pandangan menggoda. "Ada hubungan pun juga tidak masalah."

"Jiyeong!"

"Apa?" tantang Jiyeong.

Ponsel Hayoung mendadak berbunyi. Sekilas ia menatap layar ponsel dan mengerjap. Mengapa laki-laki ini harus menelepon di saat situasinya sedang seperti ini?

"Angkatlah, itu dari Sehun, kan?" Jiyeong masih belum puas untuk menggoda Hayoung.

Hayoung mendelik. "Awas saja kalau kau bicara macam-macam ketika aku mengangkat telepon ini," ancamnya sebelum turun dari ranjang dan menjauh dari kamar.

***

"Masak seperti ini saja kau sampai harus menghubungi dan menyuruhku datang jauh-jauh ke sini? Kau ini benar-benar menyiksaku Sehun-ssi," gerutu Hayoung sembari bersandar di pinggir meja, memperhatikan Sehun yang sedang melahap nasi goreng kimchi buatannya. "Bukannya waktu itu aku sudah pernah memberitahukan bahan-bahannya kepadamu?"

Warm SnowfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang