Charlenna's POV
"Serius lo? Si Iblis itu ngajak lo ke dufan? Berdua?" Cathrien menatap gue dengan tatapan nggak percaya. Jelaslah seorang iblis kayak Jemmi bisa tiba-tiba nyulik gue ke Dufan. Gue lagi ada di rumah Cathrien sekarang dan menceritakan semua yang terjadi pas gue sama jemmi ke dufan.
Gue mengangguk. "Sumpah. Gue aja juga masih nggak percaya sampe sekarang." Jawab gue sambil memeluk sebuah boneka beruang kepunyaan Cathrien.
"Kerasukan apa si iblis itu sampe bisa bisanya bawa lo ke dufan?!" Gue hanya mengangkat bahu. Gue aja bingung. "Tapi ini juga pertanda bagus Sya! Tandanya lo sama dia ada perkembangan!"
"Tau ah gue bingung. Dia nggak nunjukin perubahan apa apa. Masih cuek." Gue memeluk boneka beruang itu makin erat.
"Ke portal yuk nyari udara. Bete gue di kamar mulu." Cathrien beranjak dari kasur lalu melakukan ritual nya sebelum keluar yaitu cuci muka -kalo perlu sampe mandi- sama ganti baju. Kadang gue heran sendiri sama dia. Cuma keluar di depan rumah aja sampe ribet gitu. "Udah ayok."
Gue sama Cathrien pamit sama utinya (nenek) lalu keluar rumah sambil ngobrol ngobrol. Di portal gue sama Cathrien duduk duduk. Nggak elit banget kan ya nongkrong nya di portal. Portal ini membatasi komplek kami dengan komplek sebelah dan portal ini selalu ditutup nggak tau kenapa. Dan portal ini pas di depan rumah Jemmi.
Tiba-tiba terdengar suara dentingan piano dari rumah iblis itu. Sumpah lagu yang dimainin keren banget. Bikin tenang. Gue punya firasat yang main sekarang si iblis itu. Mungkin karena gue terlalu terhanyut sama lagunya gue nggak sadar kalo ada yang keluar dari rumah nya Jemmi.
"Hai Sya, Cath!" Sapa cowok itu bersemangat sambil menghampiri kami berdua.
"Tumben keluar rumah lo Tris." Sindir Cathrien.
"Tau lo. Udah nggak pernah keluar. Betah banget di rumah." Sungut gue. Dia Tristan. Adeknya Jemmi.
"Bosen gue suntuk." Ujar Tristan sambil nyengir ke gue sama Cathrien.
"Wow. Cowok rumahan kayak lo bisa bosen di rumah? Ajaib." Cathrie berucap jahil.
"Ya bisalah." Tristan memutar matanya.
"Eh Tris, itu tadi yang main piano siapa?" Tanya gue penasaran.
"Si Jemmi tuh. Kenapa? Keren ya?" Sial. Dia malah ngegodain gue. Ya dia tau kalo gue suka sama kakaknya.
Gue cuma memutar mata yang disambut oleh gelak tawa dari keduanya. "Yelah bilang aja keren. Lo kan selalu suka sama semua yang ada di Jemmi" Sekarang gantian Cathrien yang godain gue. Arghhh kenapa mereka hobi banget gangguin gue sih?!
"Iya Jumbo. Ngaku aja lah." Ucap Tristan ke gue. Panggilan itu lagi! Asal tau aja panggilan jumbo itu yang dapet dua bersaudara ini.
"Bacot lah kalian. Diem aja elah." Ujar gue kesal.
"Tris makan dulu sana. Disuruh mama." Tiba-tiba aja jantung gue berdetak sangat cepat. Gue menoleh ke arah suara dan mendapati iblis itu berdiri di depan pintu sambil melihat ke kami bertiga. Gue berusaha mengontrol otot-otot di sekitar mulut gue agar tidak tersesnyum dan tetap memasang wajah biasa saja.
"Gue udah makan kok tadi. Tanya aja sama Mbak Lis." Ucap Tristan.
"Eh ada jumbo sama pacarnya Adi." Ejek Jemmi ke gue sama Cathrien.
"Pergi sana lo. Kalo cuma mau gangguin gue sama Cathrien!" Bentak gue ketus. Yeah, ini lah gue sama dia. Kayaknya gue terkesan muna gitu ya. Marah-marah ke dia padahal aslimya gue seneng.
"Apaansih lo adi adi. Dia bujan pacar gue! Dia yang ngaku-ngaku jadi pacar gue!" Kali ini Cathrien yang ngebentak si Jemmi.
"Dipikir gue peduli gitu?" Balas Jemmi acuh kepada kami berdua (Gue sama Cathrien.)
Gue hanya menggeram kesal. Lalu menghampiri cowok itu dan menendang kakinya. "Njir! Sakit bego!" Jemmi berucap sambil memegangi kakinya yang kutendang.
"Terus lo pikir gue peduli?" Gue mengulang ucapannya tadi. Gue kembali ke Tristan sam cathrien yang lagi ngakak gara-gara ngeliat si Jemmi ke sakitan.
*
Jeremiah's POV
Bosan. Satu kata yang bisa menggambarkan situasi gue saat ini. Gimana gue nggak bosen. Dari tadi kerjaan gue cuma nonton sama makan. Akhirnya gue berjalan ke Grand Piano hitam kesayangan gue yang berada di sudut ruangan, lalu membuka tutupnya. Saat gue meletakan jari-jari gue di atas tuts piano secara otomatis jari-jari gue mulai bergerak memainkan lagu Ave Maria. Jangan salah, gini-gini gue bisa main alat musik terutama piano sama gitar. Gue sekeluarga bisa main piano, dari kecil gue emang udah di lesin piano.
Dari luar gue bisa mendengar suara berisiknya dua sahabat abadi(?) alias Sasya sama Cathrien. Mereka berdua nggak di sekolah nggak di sini pasti selalu berdua. Heran gue. Bisa gue tebak merka pasti sekarang lagi duduk di portal yang membatasi komplek kami dengan komplek sebelah. Lalu suara berisik itu bertambah satu dengan suara yang sangat gue kenali. Suara Trsitan. Adek gue yang bedanya cuma dua tahun dari gue.
"Jem, suruh Tristan makan dulu baru boleh main." kata mama gue yang datang entah dari mana. Gue hanya mengiyakan lalu berjalan ke arah pintu utama rumah gue yang memang sudah terbuka dari tadi lalu menyampaikan apa yang di suruh mama ke gue.
"Gue udah makan kok Jem. Tanya aja sama Mbak Lis." Ucap Tristan ke gue. Ya beegini lah gue sama Tristan. Nggak ada panggilang kak atau abang dan sebagainya. Berasa umur gue sama dia sama. Tapi emang umur gue sama dia yang perbedaannya gk terlalu jauh. Kedua kakak gue udah pada kerja semua yang masih sekolah cuma gue sama Tristan doang. Itu yang bikin gue sama dia deket.
Seperti biasa kalau gue udah berhadapan sama dua sahabat itu pasti ada aja kalimat-kalimat buat ngejek mereka. Dan gue -dengan santainya- melontarkan ejekan itu. Gue juga bingung sama otak gue. Kenapa gue seneng banget ngejek mereka, terutama Sasya. Dan gue menikmati itu semua.
Seperti yang gue duga, mereka berdua pasti bakal marah. Terutama Sasya. Sasya itu kalo udah kesel pasti reflek nya mukul orang. Kali ini kaki gue yang jadi korbannya. Gue langsung meringis kesakitan. Sumpah, lo harus ngerasain gimana rasanya di pukul dia. Pasti tubuh lo bakal merah-merah atau bahkan sampe biru. Padahal, Sasya nggak ikut bela diri apapun. Dan gue hanya mendengus kesal saat mereka bertiga ngetawain gue.
"Eh, jalan yok. Mau nggak?" Kata Cathrien.
"Kemana?" Celetuk Theo sementara si Sasya konsen sama gadget nya. Akhirnya mereka berdua diskusi. Sasya sendiri nggak lepas dari gadget nya. Sesekali mengangguk atau menggeleng saat Cathrien sama Theo nanya. Itu cewek lagi ngapain sih? Apa lagi hindarin gue ya?
"Jem, lu ikut nggak?" Teriak Theo. Gue ahirnya beranjak dari tempat gue dan menghampiri mereka.
"Ke?" gue balas bertanya singkat sambil duduk diatas portal. Di samping Sasya.
"Keliling Jakarta. Lo ikut nggak Sya?" Cathrien menyenggol bahu Sasya.
Seolah tersadar dari gadget nya. Sasya menatap Cathrien. "Eh, gue ikut-ikut aja." Gue menatap Sasya (secara diam-diam pastinya) dengan heran. What happened with this girl huh?She seems weird.
"Lo kenapa sih Sya?" Tanya Theo. mungkin dia sama herannya kayak gue. Walaupun sering ngelamun Sasya nggak pernah sampe kayak orang linglung. "Lo nggak kerasukan kan?"
Sasya memutar matanya. "Hell, kerasukan apaan coba? Gue nggak apa apa kok" Jawab Sasya kesal. Gue jadi inget kata-kata Ray waktu itu.
Akhirnya kami bermpat berdiskusi mau kapan perginya. "Gue yang bawa mobil." Kata gue.
"Gue sama Sasya siapin bekal sarapan." Ujar Cathrien yang di sambut dengan anggukan Sasya.
"Gue ntar gantiin Jemmi bawa mobil." Kata Theo bosan.
"Kita ke Kota Tua dulu aja yuk." Kata Ssya akhirnya.
"Boleh tuh, pagi-pagi kan seru. Masih adem, mau foto-foto juga seru." Ujar Cathrin. Gue dan Theo hanya mengangguk.
*tbc
Finally bisa update! Sorry kalo pendek dan ada typo. Semoga masih ada yang nungguin cerita ini.
-Audi-
![](https://img.wattpad.com/cover/27343422-288-k37271.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Childhood Love
RomanceAstria Charlena Rakasya Dia itu iblis buat gue!! Nyebelin, ngebetein, jahil, suka banget bikin gue kesel, bete sedih atau apapun itulah. Dia temen sepermainan gue pas kecil. Tapi dia itu iblis paling perfect yang pernah gue temuin. Sialnya, dia itu...