Autobiography | 02

134 12 13
                                    

Hari Senin, upacara, dan aku baru tiba di sekolah pukul 6:45 AM. Tak masalah, toh juga masih banyak yang baru datang.

"Assya!" seru seseorang dari belakang ku. Aku menoleh sebentar ke belakang, kemudian fokus lagi menghadap depan.

"Kamu udah sehat?" tanya Dira, yang sudah berada di sampingku. Dengan wajah cerianya.

Aku mengernyitkan dahi, 'Emang gue sakit?' batinku bertanya. Oh mungkin karena kejadian kemarin.

"Gue ngga sakit," jawabku santai.

"Alhamdulillah kalau gitu," balasnya.

"Hmm,"

"Emmm, kemarin kamu pergi gara-gara Khanif ya? Maksud Khanif ngga kayak gitu kok, dia cu---" belum selesai dia berbicara, aku sudah memotong ucapannya.

"Kalo cuma mau ngajuin pembelaan buat temen lo itu, mending ngga usah. Gue ngga minat". Sambil tersenyum miring aku melanjutkan, "Temen ya, saling bela." dan terus berjalan berusaha tak memperdulikan Dira.

"Bukannya emang itu ya yang namanya temen?" kalimat yang membuat langkah ku sedikit melambat. "Bukan soal bela membelanya, tapi soal gimana meluruskan kebenarannya" jelasnya diakhiri dengan senyum, dan berjalan mendahului ku.

📝

Bell istirahat berbunyi.

Kantin, seperti biasa. Menjadi tempat obrolanku dengan-nya. Siapa? Taulah si doi :c

"Jadi yang kemarin itu--"

"Dia cuma kabid gue di rohis kok kak," potongku sambil tersenyum.

"Emmm, ya sebenernya gue ngga peduli si dia siapa. Gue cuma penasaran aja, kemarin lo tuh kenapa?" tanya Kak Ghozi. Terserah kalian anggap hubungan kita apa, yang jelas kita dekat. Sebatas dekat :p

"Oh," balasku canggung. "Gue ngga kenapa-kenapa. Cumaaaaa, laper" sambil nyengir kuda.

"Emm, laper ya." responnya sambil menganggukkan kepala. "Emang kenapa?" tanyaku balik.

"Lo masih bertahan di rohis?" tanyanya. Aku bertanya, malah dijawab pertanyaan. "Iya," jawabku seadanya.

"Faktanya kita ngga bisa ngejalanin sesuatu yang ngga ngebuat kita nyaman. Contoh pacaran, gue rasa bukan cuma karena cantik atau gantengnya, tapi harus karena nyaman." tuturnya.

"Trus kalo gue nyaman sama lo gimana kak?" pernyataan yang tanpa ku sadari keluar dari mulutku. Mataku membola seketika menyadari kesalahan dari ucapkan ku.

"Ha?"

"Eh e emm, maksud gue selama ini gue nyaman kok temenan sama lo kak". Ah mulut, ngga kompromi banget si! Gerutuku pada diriku sendiri, sambil memukul-mukul jidat tak jelas. Kan jadi malu. Dih!

Untung, cowok tuh ngga pernah peka ya :"

"Kenapa ngga keluar aja?" tawarnya.

"Gue ngga tahu," jawabku. "Mereka semua orang baik, kecuali satu sih. Dan itu yang sebenarnya ngebuat gue ngerasa ngga pantes ada diantara mereka. Gue bukan orang baik".

"Gue pernah mikir buat gabung di rohis," ungkapnya menarik atensiku. "Tapi gue sadar adanya gue disana cuma bakal ngejelek-jelekin aja." lanjutnya.

"Emang gitu?" tanyaku. "Dan gue ngerasa belum siap, buat semua aturan yang mereka berlakukan." jelasnya.

Dari awal aku gabung memang karena keterpaksaan. Tapi kenapa setiap ada orang yang menyarankan untuk pergi, selalu ada juga yang membuat pikiran dan hati memilih untuk tetap tinggal?

AUTOBIOGRAPHYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang