Autobiography | 04

69 10 6
                                    

Sebelum Bu Evi keluar kelas dan jam pelajaran matematika wajib benar-benar berakhir, beliau mengucapkan "Selamat untuk Azizah, tugasnya komplit dan jawabannya menakjubkan, untuk pertama kalinya." disertai dengan senyum.

Entah itu terdengar sebagai pujian atau ejekan, aku tak terlalu mengambil hati.

"Koreksi Bu, nama saya Assya. Dan iya donk Bu, saya kan murid rajin sekarang. Harusnya ibu kasih penghargaan," jawabku sambil menunjukkan senyum termanis.

"Tapi jangan cuma sekali aja, baru ibu akan kasih penghargaan. Oke anak-anak sekian. Silahkan beristirahat." ujar Bu Evi meninggalkan ruang kelas.

Seseorang menoel pundakku dengan pensil dari belakang, aku menoleh. "Ssya, lo kenal sama Kak Mia?" tanya Siska yang duduk di bangku belakang ku. Mendengar nama itu aku terkaget, "Kenapa emangnya?" tanyaku balik.

"Dia nanyain lo, katanya Kak Mia mau ketemu sama lo. Besok pulang sekolah di lapangan basket." kata Siska.

'Mau apalagi lo kak'

"Gue harus bicara sama Dira," ujarku pada diriku sendiri. Aku menoleh ke samping, "Niar, gue duluan ya".

Aku bergegas ke kelas Dira, namun dia tak ada di kelasnya. Aku malah bertemu dengan gadis menyebalkan ini, "Buat apa lo nyariin Diraya?" tanya Khanif. "Bukan urusan lo kan?" jawabku.

"Kenapa, lo takut Dira bakal lebih peduli sama gue? Dari pada sama lo?" tanyaku lagi. Dia mulai naik pitam, ternyata semudah ini. "Lo pikir? Lo pantas?" balasnya kemudian masuk ke dalam kelasnya.

Tuhkan, cuma bicara sebentar sama orang itu aja sudah membuat mood ku hancur. Arghhh--

"Assya, kamu ngapain disini?" tegur seseorang dari belakang, ternyata Dira. "Lo kemana aja si?" sarkasku. "Dari kamar mandi," jawabnya. "Ikut gue," langsung ku tarik dia menuju lapangan basket.

"Lo harus temenin gue besok, pulang sekolah, disini" ujarku to the point. "Ada yang mau ketemu sama gue katanya," sambungku, mulai terlihat perubahan ekspresi dari Dira.

📝

"

Ayo Dira!! Nanti kita telat," ajak seseorang dari dalam kelas Dira. Siapa yang kalau ngomong ngegas? Siapa lagi kalau bukan Khanif. Dia sedikit berlari, hingga dia sudah keluar dari kelas dan melihatku bersandar pada dinding kelasnya.

Khanif sedikit kaget, "Iya Khanif, ayo." ajak Dira. "Ah, Assya kenapa ngga langsung ke masjid aja?". Aku hanya menatapnya sebentar, kemudian berjalan mendahului.

"Tuh anak bener-bener ngga ada perasaan ya?!?! Heran gue," kesal Khanif pada Dira, tentu aku masih mendengarnya. "Udah, ayo."

Sesampainya di masjid, aku meletakkan tasku dan duduk bersandar etalase. Rasanya lelah sekali, ingin cepat-cepat membaringkan tubuh di kasur empuk.

"Heh, sholat. Kenapa malah duduk-duduk disitu coba." titah Khanif. "Sebentar aja, gue capek banget nih" jawabku.

"Sholat tuh amalan pertama yang bakal dihisab. Masuk surga ngga bisa nyogok mblo!"

Detik berikutnya aku langsung beranjak dan sedikit berdesis. "Sesama jomblo ngga usah saling menghina". Karena jamaah sudah selesai, akhirnya kami jamaah sendiri bertiga.

"Disini rapatnya?" tanyaku pada Dira. "Iyalah, menurut lo" sewot Khanif. "Gue ngga nanya lo," balasku sengit. "Iya disini Assya," jawab Dira.

"Mana mejanya, mana kursinya?" tanyaku. "Woy, ini masjid, gimana si lo" sudah ku bilangkan tadi, aku tidak bertanya kepada dia, kenapa dia yang sewot sih.

AUTOBIOGRAPHYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang