Fisika, pelajaran yang menurutku sangat membosankan. Fisika itu harusnya buat anak IPA, kenapa anak IPS juga harus nemuin sih?
Aku sudah beberapa kali menguap, dan tidak fokus pada bapak guru yang menerangkan di depan kelas. Ingin pelajaran ini cepat berakhir, sebelum aku akan memuntahkan isi di perutku yang seperti diaduk-aduk melihat angka-angka yang ada di papan tulis. Kepalapun rasanya berdenyut tidak karuan. Berharap bel istirahat segera berbunyi, untuk menyelamatkan keadaan.
"Niar," aku mencolek bahu teman sebangku ku, "Kurang berapa jam lagi?" tanyaku pelan.
Niar menoleh ke arahku, setelah merunduk melihat jam yang bertengger di tangan kirinya. "15 menit lagi," jawabnya sedikit berbisik.
Aku harus belajar sedikit sabar untuk menunggu, pasalnya menunggu adalah hal yang sangat menyebalkan bagiku.
Akhirnya, bel berbunyi juga.
Mata pelajaran fisika berakhir dan saatnya ke kantin.
"Niar, ke kantin barengan ya" ajakku pada Niar.
Niar mengernyitkan dahi, "Tumben biasanya lo sama Kak Ghozi, terus lupa sama gue".
Aku menyengir kuda, "Lagi marahan". Aku jawab seadanya, memang kenyataannya seperti itu kan.
"Kenapa?" tanya Niar, mungkin dia berpikir tumben sekali aku dan Kak Ghozi marahan.
"Salah paham. Cemburu kali," jawabku asal.
"Emang Kak Ghozi suka gitu sama lo?" tanya Niar yang membuatku tersadar, betapa terlalu percaya dirinya aku.
"Maunya sih gitu,"
Ngaco!!
Kami memilih memesan mie ayam. Kemudian mencari bangku yang kosong, dan hanya dekat komplotan anak-anak cowok yang kosong. Jadi terpaksa, mau bagaimana lagi.
Sebentar aku diam mengaduk-aduk mie ayam ku. Sambil menoleh kesana kemari mencari sosok yang sedang marah kepadaku. Namun nihil, dia tidak ada di kantin.
Setelah selesai makan, aku dan Niar kembali ke kelas. Tepat saat memasuki kelas aku melihat sekotak susu yang berdiri di atas meja ku. Aku mengangkatnya dan satu kertas terjatuh. Ku ambil kertas itu, dan ku baca. Hanya tertulis,
'Maaf,
-GhoziDetik berikutnya senyum ku mengembang.
📝
"
Ayok pulang," ajak Kak Ghozi.
Bukan, bukan mengajak kepada ku. Tetapi, kepada orang lain.
Aku mengamati mereka dari jauh. Kak Ghozi dan seorang---
Aku tak terlalu tahu siapa perempuan itu, karena dia membelakangi ku. Tapi dari badge kelasnya aku bisa tahu bahwa perempuan itu anak kelas 10.
'Ngapain Kak Ghozi sama orang itu?' batin kepo ku mulai muncul.
Aku berniat menghampiri mereka, namun terurungkan karena sebuah tangan yang menepuk pundakku dari belakang.
Aku menoleh dengan sedikit keterkejutan. Ternyata Diraya.
"Assya, ngapain berdiri di sini. Nungguin siapa?" tanya Dira celingukan, tepat saat motor Kak Ghozi melaju. Untung Dira tak melihatnya.
"Ngga kok ra, nungguin lo sama--" ucapan ku terputus.
"Gue ya?" suara gadis menyebalkan yang memutus ucapakan ku, dengan wajahnya yang telah memasang senyum miring.
"Mau banget gue tungguin?" tanyaku agar dia tak terlalu percaya diri.
"Udah yuk, jadi mau tanding basket atau langsung ke masjid nunggu yang lain?" tanya Dira.
"Di masjid aja, ngadem." jawab Khanif.
Aku terkekeh pelan, "Bilang aja lo takut kan?" tantangku.
Tatapan Khanif langsung menajam. "Ayo lapangan," kemudian dia mendahului berjalan menuju lapangan basket.
Dira hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Sampai di lapangan basket, aku dan Khanif berhadap-hadapan. Memasang gaya ala-ala saat kapten basket sekolah bertemu dengan kapten basket sekolah lain dalam sebuah pertandingan sungguhan.
Aku dengan wajah datar ku. Dan Khanif dengan wajah ambisnya. Dira sendiri hanya tertawa kecil melihat kami
"Kalian apaan si, sok-sokan gitu mukanya. Kayak yang udah profesional aja." ujar Dira yang seakan meledek kami.
"Ya ra, lo gatau gue sehebat apa main ginian doang?" tanya Khanif dengan percaya dirinya.
Tuhkan, dia terlampau ambis dan percaya diri.
"Ga usah banyak ngomong, buktiin." jawabku santai. Karena aku yakin, Khanif tidak akan menang melawan ku.
"Aku juri ya, nanti yang kalah jajanin siomay di kantin sehat." tantang Dira.
"Siapa takut," jawab Khanif.
"Oke," jawabku.
Kamipun memulai pertarungan sengit ini. Dengan Dira yang berulang kali meneriaki Khanif yang melakukan kesalahan.
Dan pada akhirnya, akulah pemenangnya. Siapa lagi.
"Yes, dapet siomay gratis." ujarku mengejek Khanif.
"Tadi tuh, lo pas lagi beruntung aja." kilah Khanif.
"Tahu ngga? Beruntung itu sama dengan takdir." jawabku.
Sepertinya Khanif memang orangnya mempunyai gengsi yang sangat tinggi, bahkan untuk sekedar mengakui kekalahan.
"Udah-udah, yuk buruan ke masjid." ajak Dira.
Kami bertiga kembali ke masjid, untuk mengikuti kajian rutin.
Ternyata, engga sama pacarpun rasanya bahagia. Ketika kita lebih memilih menyibukkan diri bersama teman-teman aneh yang nyatanya bersama mereka lebih membahagiakan.
'Tunggu-tunggu, pacar? Emang aku pacar?' batinku mulai tidak tahu diri.
♥️
—————Akhirnya.
Updatenya agak telat-telat dikit gapapa yah.
Dan, untuk setiap chapter ganjil kedepannya aku mau bedah quote.
Biar kita satu persepsi.
Stay tune¡
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTOBIOGRAPHY
Teen FictionKenapa Allah mewajibkan amal jama'i? Karena Allah tahu, berjuang sendirian itu sulit. Maka kenapa ada Aku, ada Kamu dan ada Kita. Allah pertemukan untuk saling menyempurnakan dalam kebaikan. "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan...