Autobiography | 14

10 2 0
                                    

Keesokan harinya sebelum berangkat sekolah tadi, selain membaca do'a bepergian dan naik kendaraan aku juga membaca mantra 'Kalau ketemu Kak Ghozi jangan nengok, pura-pura gatau. Lo harus kuat'.

Oke, aku siap. Sambil mengangkat kedua tanganku yang terkepal. Aku memasuki gerbang utama sekolah dengan mantap. Tapi setelah memasuki koridor kelas ku, aku semakin was-was. Pasalnya kelas Kak Ghozi itu ada di deretan seberang kelasku. Jadi tidak menutup kemungkinan kita akan sering bertemu.

Dan benar, baru saja ku bicarakan sesosok itu muncul. Berjalan berlawanan arah dengan ku. Oke Assya lo bisa, jangan nengok. Jangan nengok. Tepat saat kita bersisihan, Kak Ghozi sama sekali tidak menoleh ke arahku. Kak Ghozi tidak menyapa ku.

Aku mengernyitkan dahi, dan malah menoleh ke belakang. Memandangi punggung Kak Ghozi yang semakin jauh. Kepalaku menggeleng pelan, memutar lagi menhadap depan. Memang apa yang ku harapkan? Justru bagus kan, berarti Kak Ghozi mengerti keputusan ku kemarin.

Tapi tunggu, seperti ada yang aneh. Kak Ghozi memakai masker, tidak seperti biasa. Lalu kenapa aku harus peduli?

Aku menarik napas pelan. Ingat Assya ini jalan yang benar. Dan ini jalan yang kamu pilih.

Kita memang harus sering-sering meluruskan niat, agar tidak kembali tersesat.

Aku memasuki kelas dan langsung disambut heboh oleh Siska. "Assya, Lo tau ngga kejadian kemarin? Kak Ghozi berantem sama Kak Yusuf, sampai Kak Yusuf masuk rumah sakit."

📝

J

am yang tergantung di dinding itu menunjukkan pukul 1:45 PM, bel istirahat ketiga pun berbunyi. Aku ingin segera mengetahui kebenaran berita yang beredar tadi pagi. Aku berjalan sedikit tergesa menuju lapangan basket. Karena aku yakin orang yang kucari pasti sedang berada disana.

Benar, orang yang kucari berada disana. Aku memasuki pintu lapangan basket, dan langsung berjalan ke arah nya. Sepertinya dia tidak menyadari kedatangan ku, dan untunglah keadaan tidak terlalu ramai untuk aku bertanya soalan tadi pagi.

"Kak," panggilku ketika sudah agak didekatnya, namun tetap memberi jarak. "Kak," panggilku lagi. Tapi dia menghiraukan nya, dia masih setia memantul-mantulkan bola di tangannya terhadap lapang pijak. Kemudian dia berlari ke arah ring di depannya, men-dribble bola kemudian menshoot--bolanya hingga masuk sempurna dan jatuh ke bawah melewati mulut ring.

Aku tidak menyerah, "Kak Ghozi, gue lagi ngomong sama lo!!" panggilku yang ketiga dengan nada yang lebih keras.

Dia membalikkan tubuhnya, menatap ke arahku. Seraya mengangkat kedua alisnya seolah bertanya ada apa. Dan aku bisa melihat luka dibagian sudut bibirnya, karena tidak ada lagi masker yang dipakainya tadi pagi. Juga sedikit ku perhatikan bagian lengannya ada lebam-lebam kecil berwarna biru-abu.

Aku menghela napas, "Kenapa lo berantem sama Kak Yusuf?" tanyaku to the point. Ku lihat Kak Ghozi jadi mengerutkan dahi. Kemudian seakan tersadar, "Oh berita itu udah kesebar ya". Dia berkata dengan sangat santai.

"Dan lo percaya?" lanjutnya dengan nada yang lebih rendah. "Gimana gue ga percaya, Kak Yusuf bener-bener masuk rumah sakit. Dan luka-luka di wajah sama lengan lo udah menjawab kan." jawabku dengan sedikit menahan emosi.

"Ini bukan karna gue kan?" tanyaku menduga. Pasalnya aku sangat takut jika masalah ini adalah aku penyebabnya. Dia tertawa kecil, "Sekarang lo jadi terlalu percaya diri ya," balasnya.

"Oh ya, lo bener anggep yang di taman itu serius?" tanyanya, membuatku sedikit terkejut. "Sebenernya gue ga mau bikin lo malu si, tapi kayaknya gue harus kasih tau. Gue cuma bercanda, gue mau lanjutin kata-kata gue waktu itu, tapi lo langsung lari gitu aja. Besoknya ngasih gue surat yang gue belum baca sih sebenernya".

Deg!

Ku remas erat rok ku, dengan kepala menunduk melihat lapang. Hatiku serasa sakit, semacam tidak terima dipermainkan.

"Ketika lo memutuskan untuk berlari jauh, ketika lo memutuskan untuk terbang tinggi. Bukan berarti lo ngga akan tersandung, bukan berarti lo ngga akan jatuh. Dan yang salah, lo udah menutup semua ruang untuk kemungkinan kekecewaan. Pada akhirnya lo hanya akan merasa semuanya sia-sia". 

Kalimat yang Kak Ghozi katakan barusan itu...

Ia berjalan ke arah pintu lapangan, saat tepat di sampingku dia berkata lagi. "Dan gue sedikit ngga nyangka, kalau ternyata lo terlalu mudah percaya sebuah berita. Yang lo sendiri belum tahu gimana kebenarannya".

Setelah itu ia melangkah keluar lapangan basket. Meninggalkan ku yang tidak bisa berkata-kata lagi.

📝

Pulang sekolah kami anggota bidang dari Kak Yusuf dipanggil ke masjid untuk mendiskusikan kilat tentang rencana menjenguk Kak Yusuf yang masih dirawat di rumah sakit.

Tadi di perjalanan menuju masjid, aku sempat berpapasan dengan senior ku di karate. Bang pras mengingatkan untuk latihan bagi yang ikut pertandingan bulan depan.

'Kenapa aku lupa kalau hari ini ada latihan si,' batinku merutukki betapa pelupanya diriku.

"Jadi ini siapa yang bisa ikut?" tanya Kak Salsa. "Aku bisa si kak, tapi aku kan ngga bawa motor." jawab Dira. "Emm, nanti kamu nebeng aku bisa kok Dira. Assya, Khanif, Pina, Hayu gimana?"

"Maaf kak, aku kayaknya ngga bisa deh. Karna ada latihan buat pertandingan bulan depan, ngga boleh bolos soalnya." jawab ku. "Oke nggapapa kok ssya." balas Kak Salsa dengan senyum.

"Aku bisa kak, tapi sama kayak Dira ngga bawa motor. Belum berani sih lebih tepatnya." timpal Khanif. "Kalau gitu nanti Khanif nebeng Kak Putri aja ya."

"Kak, aku izin ya. Rumahku kan jauh, nanti ketinggalan bus." izin Pina. "Aku bisa kok kak, rumahku kan deket. Aku ambil motor dulu, nanti Khanif juga bisa nebeng aku."

"Oke,"

📝

Kini aku sudah memakai karate-gi (seragam karate) dan bersiap untuk latihan. Kami sudah melakukan pemanasan, dan team sudah di kotak-kotakan sesuai kelas yang akan diikuti di pertandingan.

Kini giliran ku latih tanding melawan Siska. Jadi setiap kelas pertandingan masing-masing diisi dua orang dari sekolah masing-masing. Dan untuk kelas yang kuikuti, perwakilannya adalah aku dan Siska.

Entah kenapa aku sedikit tidak fokus, Siska sudah mendapatkan dua poin dari oi-zuki-chudan (pukulan yang mengarah ke perut) yang tidak mampu ku tangkis.

"Assya fokus!!" teriak Kak Mia.

Aku coba menepis pikiran-pikiran lain dan berusaha untuk fokus pada latihan. Tapi malah kejadian tadi siang di lapangan basket yang terlintas di kepala ku.

Ku kepalkan taganku kuat-kuat, aku maju mencoba mencari celah untuk menumbangkan Siska. Aku mengangkat kaki kanan ku mengincar punggungnya. Dan berhasil kena, sayangnya aku tidak mengira-ngira kekuatan ku. Dan Siska jatuh tersungkur karna telalu kerasnya tendangan ku. Alhasil, aku mendapat pelanggan.

Kami melanjutkan putaran yang kedua, dan aku yang memenangkan set. "Assya, sepertinya kamu sedang banyak pikiran. Jangan sampai mempengaruhi fokus pertandingan". 

Dan latihan hari ini selesai, dengan muka masam aku menunggu Om Binto menjemput ku.

📝

Alhamdulillah, masih bisa update.
Maaf ngaret banget,
Apa kabar kalian?

Stay tune¡

AUTOBIOGRAPHYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang