Autobiography | 09

29 4 0
                                    

Patah hati bukan soal mimpi yang tidak terealisasi. Tapi soal betapa tidak tahu diri, sebab mengharap pada selain Illahi.

📝

"

Kalau kamu masih menganggap saya seorang pembunuh atas kematian nenek kamu, kamu pun pergi tanpa alasan yang jelas dan kamu juga membuat saya repot, itu bukan masalah bagi saya. Tapi itu adalah sebuah kesalahan yang tertuang dalam sebuah peraturan. Jadi sebagai gantinya, saya kasih penawaran berlatih lagi dari sekarang persiapan untuk pertandingan 2 bulan ke depan."

Tiba-tiba aku teringat tawaran Kak Mia hari itu. Seperti yang Diraya bilang, aku tidak bisa terus-terusan menyalahkan orang lain. Mungkin aku bisa mencoba berteman lagi dengan Kak Mia melalui setuju dengan penawarannya itu.

Kalau dipikir-pikir, apa salahnya untuk ikut pertandingan lagi. Ralat. Apa salahnya ikutan pertandingan untuk pertama kalinya. Sedangkan itu memang apa yang aku inginkan dari dulu. Ketika mendapat kesempatan ya, sikat aja.

Ngga ada yang salah dari mencoba. Ngga ada yang salah dari berusaha.

Oke besok Senin aku akan minta tolong Siska untuk bilang pada Kak Mia bahwa kita harus bertemu.

Tak terasa ternyata aku sudah berlari jauh. Ya, hari Ahad adalah jadwal untuk jogging.

Aku berjalan mendekat pada sebuah bangku taman untuk beristirahat sejenak. Mataku awas memandangi orang-orang yang juga sedang berlari pagi. Kebanyakan mereka berpasangan.

Sedangkan aku sendirian, ah mirisnya.

Tepat setelahnya mataku menyipit melihat sesosok yang aku rasa mengenalnya, sedang menghampiri sesosok lain. Lebih tepatnya mereka adalah dua sosok yang aku rasa mengenalinya.

Aku bangkit melangkah mendekat ke arah mereka. Dengan jarak seperti ini aku bisa melihat semakin jelas keduanya.

Aku mematung setelah benar-benar mengenali siapa mereka.

Kak Ghozi dan------ Niar?

Aku jadi teringat, satu kalimat yang Niar ucapkan kemarin setelah aku mendapatkan sekotak susu dan surat permintaan maaf. 'Jangan terlalu senang, entar sakit lagi.'

Jadi yang dimaksud jangan terlalu senang tuh ini, ini yang dimaksud entar sakit lagi?

Ah drama yang sangat apik.

Wajahku memerah melihat keduanya. Seperti merasa dihianati padahal tak ada hubungan sama sekali. Aku berbalik, setetes cairan bening dari mataku berhasil lolos.

Aku memejamkan mata, dan berbisik pada diriku sendiri. 'Lo bisa ssya, masalah kayak gini ngga berarti apapun buat lo'. Ku hapus setetes air yang mengalir tadi dan mencoba menguatkan hati agar tetap pagan.

Kemudian aku memilih berlari lagi, entah kemana. Yang penting jauh, agar tidak bertemu dengan dua sosok itu. Aku menengok kanan kiri, mendapati kedai yang berjualan bubur ayam. Ku putuskan untuk singgah di kedai itu, sekalian sarapan.

Aku memesan satu porsi komplit bubur ayam. Namun aku hanya mengaduk-aduk bubur ayam itu. Mengingat kejadian tadi, rasa marah ku kembali memuncak. Jadi tidak nafsu makan.

Ternyata patah hati tuh, kayak ini.

Kalian ngga usah jatuh cinta ya, jatuh itu sakit.

"Assya," aku tersadar ketika seseorang memanggil namaku. Aku mendongak, "Dira, jogging juga?" tanyaku yang mendapati seorang gadis yang mengenakan celana rok berwarna abu, kaos panjang longgar dan hijab hitamnya yang panjang.

Dira tersenyum dan melangkah mendekat ke arahku. "Assalamu'alaikum," sapanya. "Wa'alaikumussalam," jawabku.

Kemudian diikuti sesosok tampan dan tinggi menghampiri, "Dek, mau makan disini aja?" tanya laki-laki tampan dan tinggi itu.

Bukan bertanya padaku, melainkan pada Diraya.

"Eh, iya disini aja bang, aku nemenin Assya. Abang, abi, ummi sama adek disana juga nggapapa kok." jawab Dira.

"Oke,"

Aku hanya diam ketika abangnya Dira menaruhkan bubur ayam di meja kami. Baik banget sama adek sendiri.

"Makasih bang," kata Dira.

Abangnya hanya mengangguk dan berbalik menuju meja orangtuanya.

"Eh ra, siapa nama abang lo itu? Gue lupa". Aku benar-benar tidak ingat.

"Masak kamu lupa sih, namanya bang Imad". "Sendiri aja?" lanjutnya.

"Iya, jomblo soalnya". Aku kembali memasang wajah seperti tadi ketika teringat lagi peristiwa tadi.

"Kenapa si? Mukanya mendung gitu?" tanya Dira lagi, sepertinya dia benar-benar memperhatikan ku.

"Lagi sakit" jawabku.

"Sakit apa?"

"Patah hati,"

📝

"

Assya, kapan-kapan main ke rumah. Udah lamakan ngga main-main ke rumah" ajak Ummi Hasna (Ummu Dira).

Aku tersenyum malu-malu, "Iya ummi, kapan-kapan yah".

"Yaudah, kita pulang dulu ya Assya." ujar Abi Irfan (Abu Dira).

"Iya Abi, ummi hati-hati. Dadah Rosi," ujarku pada mereka. Kemudian sedikit canggung menyapa Bang Imad, "Bang,"

"Sampe ketemu besok Assya, udah ngga usah galau. Ada Allah," pesan Dira sebelum mengikuti keluarganya.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan.

📝

H

ampir satu pekan aku menghindar dari Kak Ghozi dan Niar. Merekapun seperti tidak peduli.

"Ssya, lo kenapa si, kok agak aneh gini?" tanya Niar, akhirnya dia peka juga.

"Gapapa, lagi galau aja."

"Ha?"

Tidak ingin melanjutkan percakapan aku segera meninggalkannya. Di perjalanan menuju taman depan, justru bertemu dengan Kak Ghozi.

Aku pura-pura tidak melihatnya, dan berjalan begitu saja melewatinya. "Assya, kok lo jarang muncul si akhir-akhir ini. Susah banget dicariin." tegur Kak Ghozi.

Aku menghela napas,l berhenti melangkah, "Apa peduli lo," jawabku.

"Lo kenapa si, aneh gini"

"Terserah gue donk,"

Kemudian aku melanjutkan langkah, meninggalkannya.

Duduk sendiri di taman depan yang sepi, meratapi nasib diri.

♥️
——————

Alhamdulillah, sudah bersyukur hari ini?
Bedah quotesnya chapter depan ya, maaf belum jadi mulai hari ini.
Don't forget to read Al Kahfi
Stay tune¡

AUTOBIOGRAPHYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang