Autobiography | 06

67 9 5
                                    

"Kata Niar tadi kamu ngga masuk, kemana?" tanya seorang yang sudah duduk di ruang tamu rumahku dengan nada yang rendah.

Aku bingung dengan sikap dari mereka akhir-akhir ini, rasanya aneh. Mulai dari Kak Ghozi yang tiba-tiba muncul di taman, padahal rumah kita ngga sejalan. Dari Kak Yusuf yang tiba-tiba muncul di tepi sungai dan mengatakan hal-hal yang seolah memberi semangat, padahal kita tak pernah dekat. Dan sekarang Dira yang tiba-tiba ada di rumah, padahal kemarin dia terlihat marah.

"Aku nanya, ngga dijawab?" tanyanya lagi. Dira masih mengenakan seragam sekolah kebanggaan. Berarti pulang sekolah dia langsung mampir kesini.

"Lo?" aku bingung harus berkata apa, kenapa Dira bersikap seolah kami baik-baik saja?

"Kamu bingung kenapa aku disini?" tanyanya lagi, padahal aku belum juga menjawab pertanyaan pertama.

Aku menarik napas, "Kenapa? Lo ngga marah sama gue?" akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.

Dira tersenyum, "Sambil jalan-jalan yuk ngobrolnya" ajak Dira bersemangat. Ya, aku menurut saja.

Sambil berjalan entah ke arah mana, kami sama-sama larut dalam berpikir bagaimana permulaan untuk obrolan.

"Setiap suatu tindakan itu pasti ada alasannya, ngga mungkin engga. Kita diciptakan juga ada alasannya. Dalam hidup ini, ada 2 lingkaran yang kita miliki. Yang pertama keyakinan atau yang kita sebut takdir, dan yang satunya pilihan apa-apa yang bisa kita pilih. Tentunya dipertanggung jawabkan."

"Kita ngga bisa mencampur adukkan keduanya. Cukup dengan kita meyakini apa yang seharusnya kita yakini, dan cukup memilih dengan pilihan terbaik apa yang bisa kita usahakan."

Kalian pasti tahu siapa yang berbicara. Dan aku, aku hanya memilih diam mendengarkan.

Dira masih setia melangkahkan kakinya, dan aku juga setia mengikutinya. "Sama. Kematian nenek kamu itu adalah takdir dari Allah, cukup kamu yakini bahwa kita semuanya juga akan mati dan itu kuasa Allah. Nah, yang harus kita lakukan, adalah memilih mempersiapkan persiapan terbaik untuk bagaimana keadaan kita ketika tiba gilirannya."

Dira berhenti melangkah, menatapku seolah memberi kekuatan. "Bukan terpuruk menyalahkan diri sendiri, terlebih orang lain". Kalimatnya menusuk sampai ke jantung.

"Kita hari ini, adalah pilihan kita dimasa lalu. Dan kita di masa depan, adalah pilihan kita hari ini. So, masih mau hidup kayak gini terus? Ngga ada pijakan, ngga ada sandaran, terlebih ngga ada tujuan. Aku sih yang liat capek"

"Kamu ngga bisa bilang, kalau Allah ngga adil karena mentakdirkan kamu seperti ini. Ini bukan takdir, ini pilihan yang sebenarnya kamu bisa memilih untuk maju. Bukan diam di tempat. Seperti dalam lomba lari, berhenti berarti mundur."

Selesai, Dira berhasil membuat egoku terinjak-injak. Membuatku bungkam tanpa sanggahan, itu memang keahliannya.

"Terus gue harus mulai dari apa, untuk memperbaiki semuanya?"

Untuk pertama kalinya aku merasa seperti orang bodoh.

Senyum Dira mengembang sempurna, "Mulai dari perbaiki sholat. Inget kan kata Khanif? Masuk surga ngga bisa nyogok mblo!" jawab Dira dengan tertawa kecil.

Aku ikut terkekeh, "Sama-sama jomblo ngga boleh saling menghina" timpalku tak kalah.

Akhirnya, sore ini berakhir dengan tawa. Bahwa sudah seharusnya kita maju ke depan. Bukan diam ditempat terlebih mundur.

Untuk kamu yang masih terpuruk, ayo bangkit. Inget apa tujuan kita diciptakan. Inget lagi apa visi hidup kita. Kalau belum bisa berlari kencang, berjalan ngga masalah. Asalkan tidak berbalik arah.

Aku jadi teringat waktu di perpustakaan, Dira pernah bilang 'Kalau ada masalah minta tolong aja sama Allah, Allah sebaik-baik penolong'. Dan pagi tadi Kak Yusuf juga mengatakan hal serupa 'Kalau butuh pertolongan minta sama Allah, aduin sama Allah'. Mungkin aku bisa memulai curhat ke Allah dengan bangun sholat tahajud nanti?!

📝

Jum'at pagi, aku sudah siap berangkat ke sekolah. Ternyata benar, perasaan ku terasa lebih baik dari kemarin setelah curhat sama Allah.

"Morning kek," sapa ku ceria menuju meja makan. Tapi senyum di wajahku perlahan luntur di detik berikutnya, karena melihat pemandangan yang tak seperti biasanya.

"Sarapan dulu ssya," titah kakek. "Morning Zafa, ayo sarapan dulu sayang," ajak wanita paruh baya yang kehadirannya kini mulai terasa asing.

Aku hanya menurut duduk dengan mulut yang terkunci rapat. Tidak ingin mengeluarkan sepatah katapun. Hanya menikmati sarapan pagi ini dengan hal yang sebenarnya sedikit aku rindukan. Tapi apa boleh buat.

Aku membisu sampai, "Papa yang antar ya," tawar sesosok lelaki yang ingin sekali aku jadikan sebagai teladan seorang yang kuat. Namun, nyatanya aku masih terlalu lemah untuk meyakinkan diri sendiri.

Perjalanan ke sekolah hanya terisi dengan keheningan. Jelas aku lebih memilih bungkam. Tapi apa papa tidak merindukan putri tunggalnya ini?

Mobil yang papa gunakan untuk mengantar ku ke sekolah tiba di depan gerbang yang masih terbuka lebar. "Zafa, papa---" papa angkat bicara ketika aku sudah membuka pintu mobil bersiap keluar.

Aku putuskan untuk menoleh ke arah papa, memberikannya sedikit waktu untuk melanjutkan ucapannya. "Maafin papa sama mama, papa sama mama janji mulai sekarang bakal selalu ada di sisi kamu." ujar papa diakhiri senyum tulus.

Aku tidak yakin akan itu, aku hanya membalasnya dengan senyum yang nampak ku paksakan dan "Iya,". Kemudian aku keluar dari mobil, dan bergegas masuk ke gedung sekolah, tanpa menoleh lagi pada papa.

Selesai dengan satu hal, bukan berarti selesai dengan semuanya. Nyatanya masih ada urusan lain yang belum terselesaikan.

Apa memahami kehidupan serumit ini?

Aku berjalan menyusuri koridor menuju ruang kelasku, sambil memainkan ponselku. Aku membuka akun Instagram milikku sekedar mengupdate info terbaru.

Aku mengernyitkan dahi, sedikit tidak percaya bahwa ada notifikasi akun kak Yusuf mengirimkan pesan melalui direct message. Ku buka pesan itu, menunjukkan sebuah feed dari salah satu akun dakwah yang bertuliskan 'Lupakan sakitnya, Ingat pelajarannya, Dan ambil hikmahnya'

Sedetik kemudian senyum di wajahku mengembang. Aku semakin semangat melangkahkan kakiku menuju kelas. Dan tidak sabar untuk menunggu pulang sekolah. Karena setiap hari Jum'at ada agenda kajian rutin dari organisasi Rohis.

Apakah datang kajian karena ingin bertemu seseorang salah? Biar ku tanya pada Diraya nanti. Ku teruskan langkah ku yang terasa ringan sekarang.

♥️
-----

Ini udah Jum'at kan ya?
Ingat, Allah selalu tetap menyayangi kita.
Stay tune¡

AUTOBIOGRAPHYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang