Autobiography | 10

31 4 0
                                    

"Zafa, mama sama papa mau bicara serius sama kamu." ujar mama yang sudah duduk di sofa depan ku dengan papa disebelahnya. Sementara disamping kiriku ada kakek.

"Kenapa?" tanyaku datar.

"Papa dan mama rasa lebih baik kamu masuk pondok atau boarding school. Karena--" papa belum selesai bicara dan aku sudah mengerti apa maksudnya.

"Jadi ini, dibalik mama dan papa balik kesini?" tanyaku dengan emosi yang mulai terbakar. "Mau buang Assya?"

"Zafa, ini demi kebaikan kamu."

"Nggak, baru kemarin papa bilang papa sama mama bakal bareng-bareng sama aku. Dan apa bareng-bareng yang dimaksud itu dengan kayak gini?"

"Mama rasa, ini cara terbaik untuk menyelamatkan pergaulan kamu." jelas mama.

"Ngga ma, pergaulan aku baik. Nyatanya aku masih bertahan di rohis bareng Diraya dan yang lain sampai sekarang." elakku semakin kuat.

"Biar kamu ngerti apa kewajiban yang harus kamu jalankan." jelas mama lagi dengan nada yang lebih rendah.

"Mama sendiri tahu apa kewajiban mama? Dan apakah mama udah menjalankan itu?"

Mama diam.

Aku juga berpikir sejenak, harus ada suatu alasan yang tepat agar mama dan papa tetap mengizinkan aku disini. Aku masih berpikir, dan menemukan satu titik. Pertandingan!

"Assya, mau ikut pertandingan karate, dan itu kurang dari dua bulan lagi." ujar ku. Padahal, aku belum bilang Kak Mia kalau mau nerima tawaran itu.

Kulihat ekspresi mama dan papa yang sedikit terkejut. "Kamu beneran Zafa?" tanya papa yang masih terlihat sedikit terkejut.

"I--iya"

"Kalau gitu, setelah kamu pertandingan. Mama akan segera urus berkas-berkasnya."

No! Ayo Assya mikir, apa yang bisa kamu lakuin.

"Emmm, gimana kita bikin perjanjian aja. Kalau Assya menang di pertandingan nanti, Assya bakal tetap sekolah disini. Mama dan papa justru bisa pantau Assya secara langsung." tawarku. "Dari dulu, papa pengen kan Assya jadi atlet" tambahku.

"Dan Assya janji kalau Assya tetep disini, Assya bakal bertahan di rohis terus. Mama sama papa ngga perlu khawatir".

📝

Kita janjian bertemu di sebuah cafe. Ya, kita. Aku, Dira, dan Khanif. Entahlah, aku mulai merasa terbiasa dengan kehadiran mereka.

"Jadi orang galau tuh gini ya? Nongkrong di cafe, ngelamun, hati-hati aja sih." ledek Khanif. Dia tahu semuanya saat menemui ku waktu itu, menuju taman depan sekolah.

"Diem lo," jawabku.

"Kalian nih apaan si," Dira menengahi. "Jadi, bener masih karna itu ssya?" tanya Dira.

"Gue mau dimasukin pesantren." curhatku.

Dahi Dira sedikit berkerut, "Bagus donk. Banyak lho yang pengen masuk pesantren tapi belum berkesempatan."

"Emang lo sanggup di pesantren?" ledek Khanif lagi.

"Khanif," tegur Dira.

"Ya, gue ngga mau di pesantren. Gue pengen bareng-bareng kalian aja."

Tawa Khanif pecah, menyebalkan sekali perempuan ini. "Nyebelin banget si lo."

"Emang kenapa tiba-tiba kamu mau dimasukin pesantren?" tanya Dira. "Kata mama sih, karena pergaulan gue. Padahal ya gue bareng-bareng kalian kan."

"Terus? Jadi lo mau dimasukin pesantren? Mulai kapan?" tanya Khanif.

"Lo seneng banget ya ngga bakal ketemu gue gitu?" tanyaku sengit. "Ya, bisa dibilang seperti itu." balasnya. Sangat menyebalkan.

"Jadinya gimana?" tanya Dira serius. "Lo inget kan ra, waktu gue ketemu sama Kak Mia waktu itu." Dira mengangguk ngerti, "Jadikan waktu itu gue ditawarin ikut pertandingan nih. Nah gue bilang tuh sama mama papa. Trus kita bikin kesepakatan, kalau gue menang di pertandingan nanti, gue bakal tetep disini." Dira dan Khanif mengangguk-angguk.

"Oh ya, emang kenapa lo keluar? Lo belum cerita kan alasannya." tanya ku pada Dira, yang kita dulu sama-sama besar di karate.

"Emmm, apa ya. Ini masalah prinsip." jawab Dira. "Kamu bakal ngerti kok nanti." lanjutnya.

Aku hanya mengangguk pelan, berusaha paham atas ucapan Dira yang sebenarnya aku belum paham.

"Aku keluar bukan berarti aku juga berhenti. Berhenti latihan, berhenti ngasah kemampuan. Engga. Aku juga latihan terus kok, walau engga masuk dalam organisasi." lanjut Dira lagi.

"Kalo lo nif, bukannya lo juga anak karate ya?"

"Dulu, gue sempet ikut juga waktu SMP. Tapi ya ngga lanjut di SMA." jawabnya.

"Kenapa?" tanyaku. "Kepo,"

Tuhkan, Khanif itu aslinya nyebelin banget.

"Kalian pernah jatuh cinta ngga si?" pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

Dira dan Khanif saling berpandangan kemudian tersenyum. "Dira nih, pakarnya menjaga hati." jawab Khanif. "Apasih,"

"Iya ra, gue ngga pernah tahu dari SMP. Lo suka sama siapa?" tanyaku.

"Engga, kenapa malah bahas kayak gini si."

"Ya, pengen tahu."

"Kapan-kapan aja deh aku cerita."

"Yah,"

♥️
——————

Maaf baru bisa update,
Tetap semangat,
Stay tune¡

AUTOBIOGRAPHYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang