"Tidak perlu memaksakan diri untuk melupakan, biarkan mengalir begitu saja. Justru dengan kamu terlalu memaksakan diri untuk melupakan yang ada hanya selalu teringat dengannya. Biarkan saja mengalir, tetapi lupakan tentang kenangan-kenangannya."
****Kembalinya Zarra ke rumah ini membuatnya terlempar ke masa lalu, dimana ibunya yang masih berada di rumah itu. Ingatan kehilangan ibunya masih terekam jelas diingatannya, tangisan menggema adik-adiknya pun masih Zara ingat. Rumah ini tidak berubah sedikitpun, barang-barang juga masih berada di tempatnya saat ia meninggalkannya dulu. Tidak ada yang berubah dengan rumahnya sama sekali.
"Kenapa nggak masuk, nak?" tanya Ayah dari belakang yang membuat Zara tersadar dari lamunannya. Zara masih berdiri di depan pintunya sambil menenteng koper yang dibawanya.
"Ii ... Yah, ini mau masuk," jawab Zara tersenyum menarik kopernya masuk ke dalam.
"Mbak...." panggil kedua adiknya bersamaan saat dirinya masuk ke dalam rumah. Mereka yang tadinya sedang asyik menonton televisi langsung mendekat ke arahnya. Ah tidak lebih tepatnya adik bungsunya yang excited melihat dirinya pulang sedangkan adik keduanya berjalan seperti biasa.
Aku memeluk adik bungsuku lebih dulu, padahal waktu aku meninggalkanya dia masih kecil dan sekarang semakin besar saja badanya. Lalu, aku mengalihkan pandangan ke adik keduaku yang juga mulai beranjak dewasa. Seharusnya, aku yang merawat mereka setelah kepergian Ibu, bukan malah meninggalkan mereka dan mementingkan kebahagiaanku sendiri. Waktu itu yang aku fikirkan hanyalah bagaimana bisa aku melupakan semua kenangan-kenangan pahitku disini dari putus asanya aku karna Ibu yang tiba-tiba meninggalkanku dan kisah cinta yang selesai sebelum waktunya. Aku kira setelah aku pergi kenangan pahit itu akan hilang tetapi tetap saja semua masih membekas diingatanku sampai saat ini.
"Mbak, kok bengong sih," panggil adik bungsunya.
"Ah, engga. Mbak lagi kangen aja sama kamu, sekarang kamu udah besar ya," kata Zarra tersenyum berjongkok sejajar dengan adiknya.
"Iya dong, Mbak. Kan aku makan mulu biar cepet besar," jawab adiknya sambil melebarkan tangan membuat Zara tertawa.
"Gimana sekolah kalian?" tanya Zara lagi kepada mereka berdua.
"Seru, Kak. Banyak cewe cantik di sekolah," masih adik bungsunya yang menjawab.
"Kamu baru kelas 3 SD kok udah genit sih, Azmi. Siapa yang ngajarin kamu?" tanya Zara sedikit sewot. Adiknya hanya nyengir membuat Zara geleng-geleng kepala dibuatnya.
"Kamu, gimana Mas Azam sekolahnya?" tanya Zara menengok ke arah adik keduanya yang hanya diam tidak banyak bicara.
"Baik, Mbak," jawabnya singkat membuat Zara tidak puas sebenarnya tapi adik keduanya memang tidak suka banyak bicara.
"Mbak, kamu mandi dulu sana baru pulang. Habis itu hari ini kita makan di luar aja," ucap Ayahnya yang sudah duduk di depan TV.
"Yeyy, makan di luar ... Kita ketempat sushi biasanya ya, Yah," kata Azmi menyahut menengok ke arah Ayahnya.
"Selalu aja kesitu," jawab Ayahnya malas."Yaudah, Mbak mandi dulu ya," ucap Zara menarik kopernya masuk ke kamar.
....Zara mengamati kamarnya yang tidak berubah sedikitpun selama ia tinggalkan. Tetapi, kamarnya masih bersih, mungkin setiap hari kamarnya itu selalu dibersihkan. Walaupun, tidak mengubah tata letak barang yang ada di kamarnya.
Zara mendudukan dirinya sejenak di kasur meletakkan kopernya di dekat lemari. Foto di meja belajarnya menarik perhatian membuat Zara bangkit. Foto keluarganya saat masih ada ibunya di tengah-tengah keluarga mereka.
"Bu, apa kabar? Zara udah kembali lagi kesini. Zara udah nurutin keinginan Ibu. Sampai Zara udah di angkat jadi PNS. Ibu bangga kan disana?" Tak terasa air matanya menetes saat ia mengusap foto itu.
"Maafin, Zara bu selama ini belum jadi anak yang berbakti sama Ibu, sampai udah lama banget Zara nggak ke makam Ibu," ucap Zara lagi sendiri sambil memandangi foto tersebut. Zara sungguh merindukan Ibunya saat ini. Ia berharap bisa bertemu Ibunya tapi itu mustahil rasanya.
Setelah puas memandangi foto tersebut, Zara meletakkan kembali foto itu di meja belajarnya, menghapus air matanya dan bersiap untuk membersihkan tubuhnya. Tadi, Ayahnya bilang mereka akan makan di luar, jadi Zara tidak mau membuat mereka menunggu lama.
****Mereka sudah berada di tempat makan sushi seperti keinginan adiknya Azmi, Zara juga memutuskan supaya sahabatnya Sisil until menyusul. Mereka sudah lama sekali tidak bertemu, jadi sekalian melepas kangen dengan sahabatnya itu. Untung sahabatnya bisa ikut.
"Gimana di sana, Ra? Betah banget kayaknya apa dapet cogan di sana?" ucap Sisil sambil menaik turunkan Alisnya.
"Dih, ya Enggak lah! Disana gue fokus belajar sampai akhirnya gue kerja. Nggak ada tuh mikirin cogan-cogan," jawab Zara malas sambil menyiapkan sushi ke mulutnya.
"Mbak, mah pacarannya sama buku, hp mulu. Kak Sisil," saut Azmi yang ikut meledek Kakaknya.
"Azmi, nggak boleh gitu. Nggak boleh ikut-ikutan urusan dewasa! Nanti kamu tua sebelum waktunya," ucap sang Ayah memperingati anaknya itu.
"Tau! Kamu tuh nggak boleh ikut-ikutan sama urusan dewasa, Azmi. Nanti pikiran kamu tua," ucap Sisil membuat Azmi mengerucutkan bibirnya kesal. Tidak Ada satu pun yang membela dirinya, sedangkan Zara hanya tertawa melihat adiknya dipojokkan oleh sahabatnya dan Ayahnya.
"Mbak Sisil sendiri kerja dimana sekarang?" tanya Ayah Zara.
"Di Kemang, Om," jawab Sisil.
"Oh gitu," jawab Ayahnya sambil menganggukan kepalanya.
"Oh iya,yah. Sekarang aku mau keliling dulu ya sama Sisil. Ayah nggak usah nungguin Zara. Biar Zara pulang bareng Sisil aja," ucap Zara saat sudah selesai makan begitu pun dengan Sisil.
"Yaudah, pulangnya jangan malam-malam ya," kata Ayahnya.
"Iya, Yah."
"Mbak ikut...." ucap Azmi yang juga berdiri dari duduknya.
"Azmi, Mbak ada urusan sama temennya kamu masih kecil nggak boleh ikut-ikutan," kata Ayahnya.
"Tapi, Yah...." jawab Azmi memohon tetapi, tetap tidak diperbolehkan.
"Iya nanti aja. Mbak bawain sesuatu kalau pulang. Sekarang sama Ayah dulu, kasian Mas Azam juga kamu tinggal," kata Zara melarang adiknya ikut.
"Yaudah, Yah. Aku sama Sisil pamit dulu," ucap Zara mencium tangan Ayahnya.
"Makasih, Yah Om. Udah ditraktir. Kapan-kapan lagi ya, Om," ucap Sisil yang juga pamit ke Ayah Zara.
"Enak aja lo kata Ayah gue bandar duit apa!" saur Zara.
"Yaelah, Ra. Berbagai itu indah," jawab Sisil lagi.
"Berbagai itu jarang-jarang. Kalau setiap hari meres namanya!"
"Udah-udah kalian udah besar masih aja suka berdebat. Iya nak Sisil kapan-kapan kita makan bareng lagi. Om yang traktir, doain ya biar rejeki Om lancar terus," kata Ayah Zara.
"Aamiin...." ucap mereka berdua.
"Yaudah Kita pamit ya om Assalamualaikum," kata Sisil dan menggandeng tangan Zara untuk berkeliling berdua.
"Waalaikumsalam," ucap mereka bertiga.
.
.
.Tbc... Jangan lupa tinggalkan jejak kalian...
Terimakasih sudah mau menyempatkan waktu untuk membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Di Atas Sajadah {Completed}
SpiritualZara seorang gadis yang bermimpi menjadi penulis dan tertarik dengan seorang lelaki yang membuatnya jatuh hati.Namun, disatu sisi, karir lebih penting dari perasaan cinta yang hanya melemahkannya. Suatu waktu disaat dia menaruh kepercayaannya, lelak...