"Ragamu memang pergi, tetapi kenangan itu akan tetap tersimpan rapi ditempatnya."
..
-Zara Anindia Liliana-
***Zara memakai pakaian serba putih, dia hanya bisa mengamati proses pemakaman Fatih dari mobilnya tanpa berniat mendekat, ia tidak mau membuat keributan disana karena Ibu Fatih yang tidak menyukai kehadirannya. Di sampingnya Sisil dengan setia menemaninya dari kemarin. Air matanya terus mengalir melewati pipinya saat melihat jenazah Fatih ingin dimasukan ke liang lahat. Untungnya proses pemakamannya terlihat dari mobilnya, walaupun ia tidak bisa terlihat jelas Karena tertutupi oleh para pelayat yang mengelilinginya.
Sisil hanya bisa mengelus punggung Zara yang bergetar karena tangisnya. "Istigfar, Ra," ucap Sisil. Setelah sudah tidak terlihat jenazah Fatih Karena sudah dimasukkan ke liang lahat, Zara memeluk Sisil dan menangis di pelukan sahabatnya.
"Rasanya sama kayak ngelihat Ibu pergi dulu,Sil. Sakitnya, nyeseknya semua sama," ucap Zara pilu.
"Iya, Ra gue paham."
"Seharusnya dia enggak usah hadir di hidup gue, Sil. Kalau cuma buat susah perasaan gue aja."
"Lo enggak boleh ngomong gitu, Ra. Setiap orang yang hadir di kehidupan lo itu memberikan lo pelajaran cuma engga selamanya orang itu bakal sama kita terus," ucap Sisil memberikan nasihatnya. Zara diam enggan menjawab apapun yang Sisil lontarkan.
"Gue sama dia enggak nikah tapi kehilangan dia kok rasanya sakit banget ya, Sil."
"Karena lo enggak pernah mengizinkan orang lain hadir buat nyembuhin luka lo. Lo sengaja ngebiarin luka itu tertutup tanpa diobati dan membuat luka itu terinfeksi. Coba lo sedikit aja buka ruang dihati lo. Biarin orang lain masuk dan nyembuhin luka itu. Biarin orang lain hadir menggantikan Fatih di hati lo. Move on, Ra. Udah hampir enam tahun dan lo masih aja terjebak masa lalu sampai sekarang. Apa enggak ada satupun yang bisa bikin lo tertarik gitu? Dikasih pelet apa sih lo sama Fatih sampe ngelupain dia aja susah, kayaknya tuh pelet manjur banget buat lo tergila-gila ama dia." Satu jitakan mendarat dikening Sisil membuatnya meringis. Zara melepaskan pelukannya dan memandangnya tajam.
"Dosa, Sil seudzon sama orang yang baru aja meninggal. Tanahnya aja belum kering udah lo gibah yang enggak-enggak aja," ucap Zara sambil menghapus air matanya dengan tissue.
"Ya maaf gue kan cuma bantu ngehibur aja gitu," ucap Sisil merasa bersalah. Zara melihat ke samping lagi dari jendelannya. Satu persatu pelayat sudah pergi meninggalkan makam tersebut, diikuti Ibu Fatih yang terakhir sambil dibantu oleh suaminya. Terlihat wajah yang sangat sembab menghiasi wajah keluarga Fatih dan beberapa kerabat dekat, ada Sheina juga disana yang menggunakan kacamata hitamnya.
"Lo mau kesana? Udah sepi sekarang," tawar Sisil. Zara menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Dia mengambil kacamatanya juga supaya menutupi matanya yang sembab. Setelah itu mereka keluar dari mobil berjalan bersisihan ke makam Fatih.
Air mata Zara kembali mengucur derasa saat sampai tepat di depan nisan tersebut. Dia masih tidak percaya dengan keadaan ini, rasanya masih seperti mimpi. Dia berjongkok sambil mengelus batu nisan tersebut.
"Kak, kenapa Kakak pergi mendadak kayak gini, Kak. Kakak bilang mau nikah kemarin sama Sheina dia cantik loh, Kak. Lebih cantikan dia dari pada Zara, dia feminin enggak kayak Zara yang rewel. Harusnya Kakak bisa bahagia sekarang sama Sheina kenapa Kakak malah pergi secepat ini...."
"Sabar, Ra," ucap Sisil di belakangnya melihat bahu Zara yang bergetar karna tangisnya.
"Kakak ... Zara udah ikhlas kok Kakak nikah sama Sheina kenapa Kakak malah pergi, padahal Zara hadir loh di pernikahan Kakak. Tapi, waktu polisi dateng bilang Kakak kecelakaan rasanya Zara kayak mimpi, pengen cepet-cepet bangun. Tapi, ternyata...." Zara menundukan kepalanya bersandar pada nisan Fatih rasanya tidak kuat untuk melanjutkan kata-katanya.
Sisil menarik Zara ke dalam pelukannya, "Ra, jangan nangis kayak gini, kasihan Fatih disana," ucap Sisil menenangkan Zara.
"Kak Zara...." panggil seseorang membuat Zara dan Sisil mendongak ke atas melihat panggilan orang tersebut.
"Fani," ucap Sisil melihat kedatangan adik Fatih. Fani berdiri di sebrang Zara dan Sisil itu pun lantas ikut berjongkok.
Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyodorkannya kepada Zara. "Ini apa?" tanya Zara pelan.
"Aku enggak tahu itu apa, Kak. Kotak itu dikasih kemarin sebelum Mas Fatih akad nikah. Dia bilang kasih ke Kakak," jawab Fani.
"Kak, Mas Fatih itu sebenernya sayang banget sama Kakak, mungkin cintanya Mas Fatih sama Kak Zara itu sama. Sama-sama dari dulu. Mas Fatih sering ceritain Kakak ke Fani. Makanya sampe waktu itu dia nyuruh Fani bua nemuin Kakak. Maafin Fani soalnya yang dulu ya kak."
"Kak Zara selama ini enggak mencintai sendirian, Mas Fatih juga cinta Kakak. Cuma aku akuin dia bodoh aja enggak berani ngungkapin dari dulu, malah biarin Kakak terus berfikiran negatif tentang dia." Zara masih diam mendengarkan Fani berbicara.
"Tapi, Fani sadar, Mas Fatih juga enggak sepenuhnya salah, wajar dia kayak gitu Karena Kak Zara orang pertama yang deket banget sama Mas Fatih, makanya Mas Fatih enggak tahu gimana bikin cewe seneng. Dia selalu berfikir dengan cara dia kayak gitu bikin Kakak malah bisa bahagia. Padahal, malah sebaliknya."
Fani mengamit tangan Zara dan menggengamnya. "Kak Zara aku mewakili Mas Fatih dan keluarga minta maaf ya kalau udah nyakitin Kakak. Baik ucapan Ibu sebelum-sebelumnya, atau sikap Mas Fatih yang buat Kak Zara jadi sakit hati. Fani bener-bener minta maaf kak. Sebenernya Fani seneng kalau aja Kakak yang jadi Kakak ipar Fani. Tapi, Ibu terlalu berambisi jodohin Sheina sama Mas Fatih," ucap Fani lesu.
"Semua udah terjadi, Fan. Aku juga udah maafin Kak Fatih. Aku juga enggak nyimpen dendam sama Ibu kamu. Mungkin Ibu kamu kayak gitu karna ada maksud tertentu yang kita enggak tahu. Lagian mungkin kita emang enggak jodoh, Fan. Makanya kita dipisahkan saat ini. Aku udah mulai belajar menerima bahwa terkadang apa yang kita rencanakan tidak bisa benar-benar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Jadi, kamu enggak usah merasa bersalah kayak gitu," ucap Zara dia juga tidak tahu bagaimana bisa dia berucap seperti itu. Kata-katanya seakan meluncur begitu saja. Sisil yang melihatnya tersenyum, Zara selalu pintar menyembunyikan kesedihannya dan malah memberikan ucapan bijak untuk Fani. Padahal sedari tadi sahabatnya itu hanya menangis, menyesal dan terus begitu.
"Makasih ya, Kak. Semoga ada laki-laki yang baik yang bisa jagain Kak Zara dan buat Kak Zara bahagia. Mungkin bukan Mas Fatih, Kak. Belajar membuka lembaran baru lagi ya Kak. Jangan sedih lagi Karena kehilangan Mas Fatih, dia akan sedih disana kalau lihat Kakak juga sedih. Mulai membuka hati buat orang baru ya, Kak, Kakak orang baik dan Kakak berhak bahagia juga. Mas Fatih udah tenang disana, giliran Kak Zara dapetin pengganti yang jauh lebih baik dari Mas Fatih. Fani bakal terus doain Kakak supaya Kakak selalu bahagia, Kak." Fani tersenyum tulus kepada Zara dan dibalas anggukan oleh Zara. Mereka sadar kehilangan seseorang bukanlah akhir perjalanan cerita. Masih ada lembaran-lembaran halaman yang kosong yang juga siap diisi dengan yang baru. Menutup halaman yang lama bukan berarti kita melupakannya tetapi, sebagai bahan acuan untuk memulai sesuatu yang baru dan menjadi evaluasi dari halaman yang lama, agar tidak salah langkah lagi dalam memulai hal baru tersebut.
......"Berkelana dengan berbagai kisah pasti semua orang mengalaminya.
Berjalan menggapai sesuatu yang entah apa yang dicarinya. Dan ketika apa yang direncanakan tidak sesuai dengan yang terjadi kita pun harus siap menerimanya."
****End....
Alhamdulillah tutup Lembaran juga kisah ini. Tapi masih ada satu chapter dulu buat penutup cerita biar uwaw lah pokoknya heheh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Di Atas Sajadah {Completed}
EspiritualZara seorang gadis yang bermimpi menjadi penulis dan tertarik dengan seorang lelaki yang membuatnya jatuh hati.Namun, disatu sisi, karir lebih penting dari perasaan cinta yang hanya melemahkannya. Suatu waktu disaat dia menaruh kepercayaannya, lelak...