10.

10.9K 763 5
                                    


Ini adalah kesekian hari setelah Avara dan Avaro saling membentak yang menyebabkan perasaan hancur pada masing-masing mereka. Avara memang merasakan kehilangan seorang sahabat, tetapi rasa kehilangan Dafa tidak sebesar rasa rindunya pada seorang Avaro.

Gadis itu menatap kosong jendela kamarnya. Ia masih berada di dalam mansion Avaro, hanya tubuhnya. Sedangkan pikiran dan hatinya memilih pergi melayang dengan rasa rindu untuk Avaronya.

Tamparan saat itu, kini tak berasa apa-apa dibandingkan ia yang harus menahan rindu seperti ini. Rindu akan kehadiran Avaronya yang pergi entah kemana, setelah kejadian beberapa hari yang lalu.

"AAAA!!" Teriak Avara dengan frustasi.

Ia mengacak rambutnya dengan gusar, kemudian terlihat kembali kristal bening jatuh membasahi pipinya. Ia mendudukkan tubuhnya pada lantai, lengkap dengan kedua kaki yang dilipat dan dipeluk oleh kedua lengannya. Kacau. Itulah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Avara saat ini.

*****

Di sisi lain, Avaro mendudukkan tubuhnya diatas tempat tidur pada apartemen -nya. Sungguh ia sangat rindu dengan gadisnya, tetapi ia harus menahan rasa rindunya.

Ia harus melakukan ini semua karena Avaro tahu, jika ia tetap di mansion -nya, ia akan membuat Avara terluka kembali. Meski pria itu tahu, Avara pasti akan merasa bersalah karena pria itu pergi akibat keegoisannya.

*****

Melina masuk ke dalam kamar Avara. Ia mendekati Avara dan ikut bersimpuh di samping gadis tersebut. Jujur, Melina takut kalau akhirnya ini semua akan berakibat fatal bagi diri Avara. Dengan kondisi Avara yang sangat frustasi membuat Melina sangat takut.

"Nona, mari makan dahulu" tawar Melina. Namun, Avara hanya membalas tawaran Melina dengan diam.

"Nona, kau harus makan. Apa kau tidak ingin saat tuan kembali, tuan melihat nona dengan rasa bahagia?" Ucap Melina lagi.

"Dia tidak perduli padaku. Dia sudah melupakanku. Dia sudah membuat aku seperti orang yang mengidap penyakit gangguan kejiwaan" racau Avara dengan suara lemah.

"Kau tahu kenapa? Karena ia membenciku. Dia tidak suka jika aku bahagia" lirih Avara melanjutkan kalimatnya.

Melina menggeleng dengan cepat. "Tidak nona, itu sama sekali tidak benar. Tuan Avaro sangat mencintaimu. Tolong jangan seperti ini, aku mohon kau harus makan" mohon Melina.

Avara hanya terdiam seraya menatap Melina, terlihat mata Avara yang sembab dilengkapi dengan hidung yang memerah.

"Baiklah, aku akan makan setelah aku membersihkan badan" ucap Avara pada akhirnya. Terukir jelas senyum sumringah di bibir Melina.

*****

Kini, Avara sedang menyantap makanannya. Hatinya sangat berharap bisa menerima pelukan hangat dari Avaro sekaligus obat untuk rindunya.

Namun, ada saja saat dimana ia kembali tidak percaya jika dalang dari pembunuhan Dafa bukanlah Avaro. Ia perlu bukti. Tapi gadis itu tidak tahu harus mendapatkan bukti itu darimana.

Kring... Kring... Kring...

Suara telepon rumah menggelegar. Spontan Avara menatap benda itu. Ini pasti dari pihak sekolahnya yang mencari keterangan tentang Avaro dan dirinya yang sudah beberapa hari ini tidak masuk sekolah.

"Biarkan aku saja" cegah Avara saat Melina akan mengangkat gagang telepon itu.

"Baiklah nona" ucap Melina.

Avara mengambil gagang telepon itu dan mengarahkan ke telinganya. Ia menunggu agar orang yang diseberang sana memulai pembicaraan terlebih dahulu.

"Akhirnya kau mengangkat teleponnya, Avaro. Tidak sia-sia aku menghubungimu dari telepon kantormu, lalu telepon pribadi dan kini yang ada jawabannya adalah telepon rumahmu" ucap sang penelepon. Wanita? Pikir Avara. Gadis itu tetap tidak membuka suaranya.

"Bagaimana rasanya dibenci oleh gadismu, hah? Menyenangkan, bukan? Hahahah.. aku yang dalangnya dan kau yang sengsara? Sungguh menarik. Dengan cara ini aku lebih mudah untuk melenyapkanmu, dan kau perlu tahu.. sahabat gadismu yang bernama Dafa Arsena Biral.. mati ditanganku. Bila kau ingin gadismu mempercayai dirimu kembali, bacalah pesanku. Temui aku di Villa Tua Azoka, tanpa siapapun! Salam, Clareta Zia" lanjut sang penelepon dengan panjang lebar dan menutup sambungan telepon secara sepihak.

Tubuh Avara menegang seketika, ternyata ia salah. Ia salah pada Avaro. Gadis itu mendudukkan tubuhnya pada sofa tepat disamping meja dimana telepon rumah itu berada. Perlahan, air mata gadis itu mengalir membasahi pipinya.


TBC

Stay tuned guys untuk bagian selanjutnya😍🤗

Vote dan comment😉

Love semuaaaa❤️

Romantic But Psychopath(End')Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang