-Taemin POV-
“Taemin-ah!” tiba-tiba, seseorang menepuk punggungku dari belakang.
“Naeun.”
“Ada apa? Melamun saja dari tadi. Sepertinya lagi ada masalah, ya?”
“Ada apa?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng. “aku tidak apa-apa, tidak ada hubungannya denganmu.”
Aku kira dia akan tersinggung dengan ucapanku, tapi kemudian dia menghela napas dan tersenyum.
“Terserah katamu,” katanya sambil duduk di sebelahku.“Aku sudah terbiasa di perlakukan seperti ini
olehmu.”
“Maaf, bukan maksudku…” aku buru-buru minta maaf, tapi dia langsung menggeleng.
“Ini bukan salahmu juga bukan salahku jadi untuk apa minta maaf?” katanya sambil meringis, lalu kami berdua berada dalam diam, lama sekali.
“Terima kasih,” katanya tiba-tiba memecah keheningan.
Aku terkejut. “Eh…oh.. untuk apa?”
“Untuk nasihatmu,” Naeun memandangiku, matanya yang besar itu berbinar. “sekarang hubunganku dengan Jennie, sudah baik kembali. Bahkan sekarang kami jadi semakin memahami perasaan kami satu
sama lain.”
“Ah, aku hanya mengatakan apa yang harus kukatakan,” elakku. “Kalian berdualah yang melakukannya.”
Dia menggeleng. “Tetap saja, kalau bukan karena kau, mungkin kami tidak akan pernah bisa saling mengerti.”
“Jangan melebih-lebihkan.”
Dia memutar matanya. “Ya ampun, kamu memang sudah biasa rendah diri, ya?”
Aku tertawa.
Tidak lama kemudian, bel berbunyi menandakan istirahat telah usai.
Dia berdiri sambil membersihkan roknya.
“Ayo masuk,” katanya lalu pergi menuju kelas.Aku masih duduk terpaku, mengamati sosok gadis itu dari belakang yang makin lama makin mengecil dan menghilang di balik dinding. Tanpa sadar aku tersenyum.
***
-Jennie POV-
“Appa?” aku membuka pintu ruang kerja Appa.
“Masuk, Jennie,” kata Appa. “ Tapi, lain kali tolong ketuk pintu dulu.”
Aku menutup pintu, lalu duduk di kursi di depan meja Appa.
“Ada apa?” tanya Appa.“Sepertinya ada sesuatu yang penting yang sedang kau pikirkan.”
Aku memandang Appa, sedikit heran bagaimana orangtuanya itu seolah bisa membaca pikirannya.
“Appa” aku mulai berbicara.
“Uhm?”
“Kalau aku berubah pikiran tentang cita-citaku apakah itu berarti aku tidak punya pendirian?” tanyaku.
“Apakah itu juga berarti aku masih kekanak-kanakan?”
Appa mencondongkan badannya ke depan. “Begitu? jadi, sekarang apa cita-citamu?”
Aku terdiam sejenak.
“Aku ingin jadi psikolog,” kataku kemudian.
“Aku merasa ada hal yang bisa kulakukan, yang lebih besar dan bermanfaat daripada menjadi diplomat.”
“Apakah menjadi diplomat menurutmu tidak bermanfaat?”
Aku menggeleng. “Semua pekerjaan bermanfaat, hanya saja aku tahu aku bisa melakukan lebih baik dari
menjadi diplomat. Aku ingin menolong orang-orang, menyadarkan mereka bahwa mereka layak hidup
dan dicintai seperti apa adanya mereka.”
Appa hanya terdiam.
“Aku ingin hidupku bermakna, Appa” aku melanjutkan kata-kataku. “aku dulu ingin menjadi diplomat karena ingin dikenal banyak orang. Tapi, sekarang , bagiku walaupun hanya dikenal oleh satu orang, tapi jika keberadaanku memberi arti dan dianggap penting olehnya, itu sudah cukup. Inilah yang kurasakan
sekarang.”
Appa tersenyum mendengar penjelasanku “Ternyata, kamu sudah lebih dewasa dari yang Appa kira. Bukan hanya kamu, kakakmu juga. Pikiranmu itu sama seperti yang dikatakan Naeun ketika dia memutuskan untuk menjadi guru.”Lalu, dia menghela napas dan mengakhiri kalimatnya dengan
berkata, “Appa bangga pada kalian berdua.”
Senyumku merekah, lalu aku beranjak dari kursiku dan memeluk Appa.
“Jadi setelah kamu memutuskan untuk menjadi Psikolog apa yang akan kamu lakukan?” tanya Appa sambil membalas pelukanku dengan erat.
“Aku tidak tahu.” Jawabku.
“Apa pun yang akan kalian berdua lakukan,” Appa menepuk-nepuk punggungku, “Appa akan
mendukungnya.”
Aku mengangguk dan tersenyum.***
-Soojung POV-
“Jadi gimana, Soojung-ah, hari minggu jadi kan ke Lotte World?” tanya Minhyuk ketika kita sedang berbicara di telepon.
“Hmmm…” Soojung berpikir sebentar. “Jadi.”
“Kalau begitu, sampai bertemu besok di sekolah,ya?”serunya.
“Eh, Minhyuk-ah!”
“Waeyo, jagiya?”
Aku langsung tersipu mendengar kata itu yang ditujukan kepadaku.
“Mmmm… Gomawo,” kataku.
“Untuk apa?” tanyanya.
“Atas surat-surat yang kamu kirimkan setiap hari,” jawabku. “Puisinya bagus-bagus.”
“Yang aku kirimkan?” tanyanya tampak bingung.
“Yang selalu kamu letakkan di kolong mejaku. Bersama bunga mawar itu,” kataku.
“Oooohh!” serunya seketika.“Yang itu? iya sama-sama. Karena aku merasa itu sebuah kewajiban, aku sampai lupa. Suka ya? Aku senang kalau kamu ternyata suka.”
Aku hanya tersenyum.
“Yaudah, aku tutup teleponnya ya,” katanya.“Goodnight and have a nice dream.”
KLIK!
Aku masih memandangi ponselku, perasaanku benar-benar senang. Lalu aku mengambil dan membaca lagi surat-surat yang ditinggalkan di kolong mejaku. Surat-surat itu tidak panjang, hanya berisi rangkaian kata-kata yang sangat indah. Bagiku, surat-surat itu sangat berharga. Sebagai orang yang merasa tidak dicintai oleh siapa pun, tiba-tiba muncul seseorang yang mengatakan dia mencintaimu dengan tulus apa
adanya pastilah sesuatu yang akan aku jaga seumur hidup.
Tidak lama kemudian, terdengar suara ribut-ribut di lantai bawah.
Appa dan Eomma sudah pulang, pikirku.
Aku pun segera turun ke lantai bawah dan menguping pembicaraan mereka.
“Jadi, kau mengirim anak pungut itu ke Jerman, merepotkan saja” kata Eomma
“Aku ingin dia belajar tentang bisnis di sana, karena sepertinya anak kandung kita tidak berguna sama sekali.”
DEG~
Jadi selama ini, aku hanya beban bagi mereka
“Tapi anak itu masih SMP, kau tidak bisa berharap banyak darinya.” Eomma tampa menggebu-gebu.
“Memang itu tujuanku, aku ingin membentuk kepribadiannya yang kuat fisik dan mental sedari kecil.”
“Tapi…”
“Sudahlah, aku mau tidur. Kita sudah sepakat tentang ini, sejak aku mengadopsinya dan Soojung juga tidak keberatan.”
Aku tidak ingin mendengarnya lagi, aku pun berbalik dan menuju ke kamarku dengan langkah gontai.
Aku lalu cepat-cepat mematikkan lampu kamarku dan bersiap-siap untuk tidur.Namun, suara kedua orangtuaku tidak juga berhenti bahkan semakin keras hingga aku harus menutup kedua telingaku dengan bantal.
DIAAAAAAAAAMMMMMMM!!!
***
Aku sedang membaca buku di ruang keluarga ketika tiba-tiba Appa pulang sambil tertawa.
“Lihat! Lihat!” Appa mengacung-acungkan sebuah kotak di tangannya.
Eomma yang sedang berdandan langsung keluar kamar. “Ada apa, ribut-ribut?”“Ini,” Appa langsung meletakkan kotak itu ke meja.
“Appa barusan mendapat hadiah dari investor Jerman yang mau menginvestasikan modalnya di perusahaan.”
“Apa itu?” tanya Eomma sambil mengernyitkan dahi.
Appa tidak berkata apa-apa, dia membuka kotak itu dan ternyata isinya: pistol.
“Appa!” jerit Eomma, “Buat apa benda seperti itu? berbahaya!”
“Ini benda langka! Peninggalan perang dunia ke-2 tapi masih berfungsi dengan baik!” sanggah Appa.
“Tapi tetap saja itu benda berbahaya! Cepat buang!” teriak Eomma.
“Tidak mau! Ini hadiah, aku tidak akan membuangnya!”
“Bagaimana kalau Soojung kena?”
“Jangan jadikan Soojung sebagai alasan!” Appa balas berteriak. “Aku akan menyimpannya baik-baik di
laci meja kerjaku!”
Pertengkaran mereka masih berlanjut, teriakan demi teriakan bersahut-sahutan.Ini sudah biasa terjadi,
para pembantu di rumah pun sudah memakluminya hingga setiap kali terjadi pertengkaran mereka
langsung masuk ke kamar masing-masing dan menunggu pertengkaran itu reda. Namun aku, walau seharusnya sudah terbiasa, aku tetap saja tidak tahan mendengarnya.
Aku bergegas berlari ke kamarku dan menutup pintu dengan keras. Dan seperti biasa pula setiap kali
Appa dan Eomma mulai bertengkar, aku langsung merebahkan diriku di tempat tidur, menutupi mukaku
dengan bantal, lalu mulai menangis.
***
Aku merogoh-rogoh kolong mejaku hingga ke sudut-sudut. Tidak ada apa-apa.
“Soojung!”
“Ah!” aku hampir terloncat dari kursi saking kagetnya.
“So….sorry, tidak bermaksud bikin kamu kaget.”
“Ng…gwenchana, Jongin-ah.”Aku tersenyum. “Ada perlu apa?”
“Ada yang ingin aku tanyakan,” katanya agak ragu-ragu. “Tapi, ini sifatnya agak pribadi jadi jika kamu tidak mau jawab, ya tidak apa-apa.”
“Kau membuatku takut,” kataku. “Ada apa?”
“Kamu…,” jedanya sejenak, “pacaran sama Minhyuk anak kelas sebelah?”Saat ini wajahku pasti memerah seperti udang rebus.
Melihatku yang tersipu, dia langsung bisa menebaknya.
“Jadi benar ya?”
“Ssstt…jangan keras-keras,” pintaku. “Kami belum pacaran kok tapi yah… kami memang lagi dekat.”
Dia terdiam
“Yah…” dia menghela napas. “Kalau kamu bahagia, aku juga bahagia,” gumamnya lalu dia pergi.
“Hah? Apa maksudmu?” tanyaku bingung, tapi Jongin sudah terlalu jauh untuk mendengar
pertanyaanku.
Aku mulai lagi merogoh-rogoh kolong mejaku, berharap tadi ada yang terlewat. Namun, tetap saja aku
tidak menemukan apa yang aku cari.
Di mana surat itu? apa Minhyuk sudah berhenti menulisnya untukku? Atau, hari ini dia hanya lupa
menuliskannya? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menerima surat cinta yang selama ini selalu aku tunggu-tunggu.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
The How of Us✅
FanfictionAda cinta yang sulit aku ungkapkan. Sebut aku pesimis, tapi sudah terlalu lama aku menunggu saat yang tepat untuk kebenaran itu. Dan selama itu, aku melihat bagaimana benih-benih perasaanku kepadamu pelan-pelan tumbuh hingga menjadi bunga yang ind...