-Naeun POV-Jennie dimana? Tanyaku dalam hati ketika aku membuka mata.
“Sudah bangun?”
Aku menoleh dan melihat Jennie duduk di kursi di sebelah tempat tidurku, sedang menatapku dengan
marah.“Ini dimana?” tanyaku sambil mencoba duduk.
“UKS,” jawab Jennie.
Aku celingak-celinguk.“Dokternya mana?”
“Sedang pergi mengambil minuman.” Dia menghela napas.
“Aku menungguimu dari tadi sampai aku harus melewatkan jam pelajaran matematika.”
“Tidak ada yang menyuruhmu.”
Dia terdiam, lalu berdiri.“Kenapa kamu melakukannya?” tanyanya kemudian.
“Hah?”
“Kenapa melakukannya, padahal kamu tau kamu takut darah?”
Kali ini giliran aku yang terdiam. Aku tidak mungkin mengakui kalau aku melakukan semua itu untuk
membuktikan diri pada Jennie.“Harusnya kamu tahu keterbatasanmu sendiri,” tambah Jennie sambil menatap lelah ke arahku. “Kau
jadi mempermalukan dirimu sendiri. Tidak usah memaksakan diri jadi dokter, toh, tidak ada yang
memaksamu, kan? Bukankah kamu sendiri membenci mereka? Kenapa ngotot?!”“Cukup!!” bentakku, aku bergegas turun dari ranjang, lalu berjalan menuju ke pintu keluar. Sesampai di depan pintu, aku berbalik dan menatap marah ke arahnya.
“Kau! Tidak tahu apa-apa! Jangan seenaknya memberitahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak peduli lagi dengan semua pendapatmu tentangku!”
Kemudian, aku pergi meninggalkan Jennie yang mungkin masih bingung.
Aku tidak peduli!! Teriakku pada diriku sendiri sepanjang lorong menuju ke kelas. AKU TIDAK PEDULI LAGI!!
Aku ingin berlari dan terus berlari, entah ke mana. Namun, tak bisa. Lututku terasa lemas dan tanpa
sadar aku meneteskan air mata. Aku menghentikan langkahku, lalu membungkuk bertumpu padan lutut
dan menangis.“Aku…malu…” kataku lirih.
“Aku malu, Jennie-ah. Aku malu padamu…”
***
“Naeun-ah!”
Samar-samar, aku mendengar namaku di panggil.
“Naeun!”
Seperti baru saja dibangunkan dari mimpi, aku terkesiap, lalu menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku. Ternyata, Taemin.
“E…,oh…., kenapa Taemin-ah?”
“Sedang apa disini?” tanyanya sambil duduk di sebelahku.
“Duduk,” jawabku singkat.
“Jawaban cerdas,”komentarnya. “K-kau dicari Jennie dari tadi.”
Aku tidak menjawab malah melanjutkan membaca buku yang tadi terpotong oleh lamunanku.
“Tumben kamu baca buku di sini, bukan di perpustakaan.” Katanya kemudian sambil memandang hamparan rumput lapangan sepakbola di depannya. Lapangan itu terletak di bagian belakang sekolah dan sangat jarang dikunjungi orang-orang, kecuali saat jam olahraga atau ada event tertentu.
Aku hanya diam.
“Lagi bertengkar sama Jennie, ya?” tebaknya.
Lagi-lagi, aku hanya terdiam dengan ekspresi muka yang tidak bisa dibaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
The How of Us✅
أدب الهواةAda cinta yang sulit aku ungkapkan. Sebut aku pesimis, tapi sudah terlalu lama aku menunggu saat yang tepat untuk kebenaran itu. Dan selama itu, aku melihat bagaimana benih-benih perasaanku kepadamu pelan-pelan tumbuh hingga menjadi bunga yang ind...