Prolog

1.5K 30 0
                                    

Gerhana bulan berlalu. Perlahan cahaya bulan kembali menerangi bumi. Hawa dingin tetap menyelimuti Gunung Tidar. Di puncak gunung tampak dua sosok manusia sedang berhadapan. Seorang di antaranya memakai baju serba putih. Ia adalah Mpu Sitra. Tubuhnya kurus kerempeng. Ia melawan Ken Praba. Pria yang setengah telanjang dada dengan celana dan rambut gondrong hampir menyentuh pinggang. Tubuh Ken Praba besar dan kekar.

Wajah mereka penuh memar dan luka. Sementara luka di tubuh mereka basah oleh kucuran keringat dan goresan darah. Bau anyir darah menyebar terbawa angin. Mata Ken Praba tajam mencekam menatap tubuh Mpu Sitra.

"Aku ulangi lagi, Mpu Sitra. Serahkan keris Nagatapa itu padaku. Kalau tidak, terpaksa aku harus merebutnya," bentak Ken Praba.

"Pusaka ini tidak cocok bagi orang sepertimu, Ken Praba. Kau haus akan kekuasaan dan sedang terbakar cemburu," sahut Mpu Sitra sambil memejamkan mata dan mengatur nafas.

"Cuih! Aku tak sudi mendengar ceramah darimu. Hari ini adalah hari sial untukmu. Celakalah dirimu yang akan mati di tanganku! Di umurmu yang sudah kepala empat pada hari Senin Pon sesuai dengan wuku milikmu. Terimalah takdirmu!"

Ken Praba langsung menerjang dengan sangat cepat. Mpu Sitra menghalau tendangan sambil melompat menjauh, berdiri di atas dahan pohon.

Mata Ken Praba tajam menatap lawan. Lalu terbang mengejar dan menyiapkan pukulan. Mpu Sitra juga sudah pasang kuda-kuda menyerang. Terjadilah pertarungan sengit di udara. Keduanya dengan kecepatan tinggi hingga hanya terlihat bayangan saja. Adu serang dan adu tangkis bergantian dilancarkan kedua pihak. Namun belum ada yang benar-benar berhasil mendaratkan pukulan tepat sasaran.

Kembali Mpu Sitra meloncat menjauh dan bersembunyi di balik pohon besar. Ia tampak kerepotan mengimbangi kecepatan Ken Praba yang penuh amarah.

"Baiklah. Kalau kau mengajak bermain petak umpet akan kulayani."

Ken Praba tampak menggerakkan kedua tangan di depan dada. Sekujur tubuh diliputi aura merah. Artinya, ajian yang akan ia keluarkan dengan cakra besar itu mengandung elemen tanah. Tangan kanan di angkat ke atas, menusuk langit. Lalu dihujamkan ke bawah, meninju tanah yang diinjak. Seketika tanah di puncak Gunung Tidar itu merekah, terpecah-belah berantakan. Pepohonan bertumbangan satu per satu, rata dengan tanah. Itulah ajian Rengkah Gunung. Jika dihujamkan langsung ke tubuh lawan, bisa hancur seketika. Jika lawann sakti maka akan gosong sekujur tubuh tanpa terkecuali.

Menyadari ganasnya ajian Rengkah Gunung, Mpu Sitra berdiri di udara. Sebab, tak ada lagi pohon untuk bersembunyi dan tanah hancur berantakan. Tiba-tiba sebongkah tanah sebesar rumah, melayang datang menuju mukanya. Dengan gesit, ia menghindar. Tak dinyana, datang empat bongkahan tanah lagi dari penjuru mata angin. Kali ini, tampaknya ia tak akan bisa menghindar. Tapi, satu per satu bongkahan tanah itu hanya melewati samping tubuhnya. Tipis sekali, hanya beberapa inchi saja. Sementara itu, aura hijau tampak berpendar dari tubuh Mpu Sitra. Tak salah lagi, ia menggunakan ajian Lembu Sekilan dengan cakra elemen angin. Serangan dari senjata apapun bisa meleset dari sasaran, meski hanya sejengkal saja.

"Cukup! Aku tak ingin membunuhmu Ken Praba. Kita tak perlu saling membunuh hanya gara-gara keris ini. Mengapa kau sangat berhasrat dengan keris ini?"

"Bukan urusanmu. Aku sudah terlanjur menginginkan keris itu. Keris itu sudah memanggilku. Akulah tuannya, bukan dirimu. Apapun yang aku inginkan harus tercapai. Jika terpaksa harus melangkahi mayatmu, akan kulakukan."

SATRIA BRAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang