Latihan Terbang

284 12 0
                                    

Selepas sembuh dari sakit, Satria Braja kembali bergabung bersama Unit Gembala Padepokan Banteng Mukti. Mbah Wakil Ketua sempat menawarkan opsi agar Satria Braja pindah unit yang tidak berhubungan dengan hewan. Namun, Mbah Putih mempertahankan calon pendekar tingkat sanak itu agar tetap bersamanya. Alasan utama Mbah Putih ingin mendidik Satria Braja agar bisa mengatasi kelemahan.

Jika Satria Braja terus menghindar dan tidak bisa menjaga diri dari ancaman maka ia akan kesulitan berkembang dan tak mampu menjadi pendekar yang kuat. Menurut Mbah Putih, pendekar yang kuat adalah pendekar yang mampu mengatasi setiap ancaman yang berada di sekitarnya. Sebab hal itu akan membuatnya selalu waspada. Selain itu, Mbah Putih menjamin kejadian serupa berupa diseruduk kerbau saat menggembala tak akan terulang kembali. Akhirnya, Mbah Wakil Ketua luluh dan mengikuti kemauan Mbah Putih.

Di Unit Gembala, Mbah Putih melatih Satria Braja untuk mengendalikan cakra berelemen angin. Satria Braja menjalani latihan terpisah dari Istungkara, Waring Alit, dan Wulung Tole.

"Saat seseorang masih bayi sebelum bisa berlari, maka harus latihan untuk berdiri. Dan sebelum mampu berdiri, maka seorang bayi akan belajar tentang cara duduk yang benar. Begitu juga dalam pengendalian cakra elemen angin, tahapan pertama yang harus bisa dilakukan adalah belajar bagaimana cara duduk," jelas Mbah Putih coba memberi pemahaman tentang dasar-dasar pengendalian cakra elemen angin.

"Apa? Aku hanya akan latihan duduk saja? Tak adakah latihan yang lebih keren Mbah Putih?" protes Satria Braja.

"Hal terpenting dari latihan ini, bukan tentang belajar duduk tapi belajar memunculkan elemen angin dan mengendalikannya."

"Jadi apa yang harus aku lakukan, Mbah Putih?"

"Kau cukup duduk bersila, konsentrasi dan fokus mengeluarkan cakra elemen angin yang titiknya berada di dada lalu mencoba mengendalikannya. Jika kamu bisa mengendalikan elemen angin, maka tubuhmu akan terangkat dengan sendirinya dan kamu bisa duduk di udara."

"Duduk di udara, semacam terbang? Keren, sungguh keren."

Ekspresi kegirangan muncul dari wajah Satria Braja dengan mata berbinar-binar. Wajah lesu saat mendengar latihan hanya duduk saja, kini berganti wajah bersemangat saat mendengar penjelasan bahwa latihan kali ini duduk sambil terbang. Sorot matanya serius, penuh rasa optimistis.

"Ayo kita mulai latihannya Mbah Putih!" seru Satria Braja.

"Lakukan dengan baik aku pandu secara perlahan," ujar Mbah Putih.

Satria Braja memulai latihan pengendalian cakra elemen angin dengan duduk di atas batu. Duduk bersila dengan mata terpejam. Ia coba fokus mengeluarkan cakra elemen angin.

"Ingat, fokus ke dada. Sumber energi elemen angin ada di dada. Berbeda dengan cakra elemen tanah yang berada di tulang ekor. Kamu mungkin tak bisa mengendalikan cakra elemen tanah, tapi elemen angin kamu harus bisa," ucap Mbah Putih mencoba menuntun muridnya.

Mbah Putih berharap Satria Braja mampu melewati latihan dasar ini dengan cepat. Sebab, cakra elemen angin yang besar mudah terlihat meski tubuh pemiliknya tak mampu mengendalikan dengan baik. Biasanya jika seseorang punya cakra elemen angin yang besar namun tak bisa mengendalikan dengan baik, tubuhnya akan terombang-ambing dan bergerak tak beraturan. Terkadang, hingga melompat-lompat dan terbang bebas tanpa kendali. Tentu saja terbang bebasnya disertai dengan benturan terhadap pohon atau jatuh tiba-tiba dari ketinggian.

Namun hingga waktu yang ditunggu, tak menunjukkan tanda-tanda munculnya cakra elemen angin Satria Braja. Mbah Putih mulai menaruh curiga jangan-jangan Satria Braja tak memiliki cakra elemen angin, meski wuku Satria Braja, Tolu. Bisa saja, cakra terkuatnya bukan elemen angin. Satria Braja terus mencoba mengeluarkan cakra elemen angin, namun gagal. Tak terjadi apa-apa.

Mbah Putih sudah memetakan cakra terkuat dari tiga teman Satria Braja di Unit Gembala Padepokan Benteng Mukti. Cakra terbesar milik Wulung Tole berelemen air. Sementara Waring Alit, meski mampu mengendalikan cakra elemen tanah, namun cakra terbesarnya adalah elemen api. Sementara, Istungkara sudah cukup ahli dalam mengendalikan elemen tanah yang menjadi cakra dominannya. Kini, hanya Satria Braja yang sumber energi tenaga dalamnya belum diketahui oleh Mbah Putih.

"Coba panjat pohon itu, Satria Braja," suruh Mbah Putih sambil menunjuk pohon kelapa yang cukup tinggi.

"Mbah Putih haus? Mau aku ambilin kelapa muda untuk diminum?" tanya Satria Braja sedikit heran.

"Iya, coba ambilin dua kelapa muda buat kita," jawab Mbah Putih singkat.

Satria Braja segera menuju pohon kelapa yang menjulang setinggi tiga puluh kaki atau setara sepuluh meter. Ia mulai memanjat dengan cepat. Ia tak mengalami kesulitan dalam memanjat karena sejak kecil ia sering bermain panjat-memanjat. Sesampainya di ujung pohon, Satria Braja menjatuhkan dua kelapa muda yang ia pilih. Ketika hendak turun, tiba-tiba Mbah Putih yang tidak diketahui asalnya sudah berdiri di belakang Satria Braja. Kakek-kakek berbaju putih itu terbang, berdiri di udara.

Sontak saja, Satria Braja terkejut hingga nyaris terjatuh. Untung ia mampu menjaga keseimbangan dengan berpegangan erat pada pohon kelapa itu. Namun, tiba-tiba satu tendangan meluncur ke dada Satria Braja. Sebuah tendangan yang berasal dari kaki Mbah Putih. Satria Braja terkejut, tak menyangka Mbah Putih melakukan tendagan dengan tiba-tiba dari ketinggian tersebut. Tubuh Satria Braja jatuh meluncur ke bawah dari ketinggian tiga puluh kaki. 

"Fokus Satria Braja, keluarkan cakra elemen angin agar kamu bisa terbang. Konsentrasi!" ujar Mbah Putih setengah teriak.

Diam-diam Mbah Putih takut jika Satria Braja tak punya cakra elemen angin. Pasti ia akan cidera cukup parah jika tak bisa mendarat dengan benar. Satria Braja langsung memahami tujuan Mbah Putih untuk memaksa cakra elemen angin keluar dari tubuh anak itu. Ia mencoba konsentrasi mengeluarkan cakra elemen angin. Ia menoleh ke bawah, sebentar lagi tubuhnya membentur dengan keras permukaan tanah. Telat. Tak ada cakra elemen angin yang keluar.

Satria Braja ngeri membayangkan apa yang bakalan terjadi kepadanya, jatuh dari pohon kelapa yang tinggi. Ia tak mampu lagi konsentrasi pada titik sumber energi di dada. Ia takut dan kalut. Ia pasrah beberapa detik lagi menghantam tanah. Saat kepalanya hanya berjarak sejengkal saja dari permukaan tanah, tiba-tiba Satria Braja berhenti meluncur. Ia selamat tak membentur keras permukaan tanah. Ia merasa melayang dengan kepala di bawah dan kaki di atas.

Apakah aku berhasil mengendalikan elemen angin? Apakah ini rasanya mampu terbang, pikir Satria Braja kegirangan.

Saat Satria Braja hendak menggerakkan kedua tangan ke permukaan tanah, hendak menyentuh tanah dengan telapak tangan, tiba-tiba Mbah Putih melepaskan tangannya dari kaki Satria Braja. Tentu saja hal tersebut membuatnya terjatuh, kepala Satria Braja membentur permukaan tanah karena tangannya belum sempat menahan. Rupanya, ia tidak menyadari kalau Mbah Putih menolongnya agar tak terbentur tanah dengan keras, agar tak jatuh langsung dari ketinggian tiga puluh kaki dengan cara menarik kaki Satria Braja. Anak Arsi Arsanti itu merasa berkunang-kunang akibat benturan dengan tanah dan melihat Mbah Putih melayang tepat di atasnya.

Sambil melayang di udara, Mbah Putih heran bercampur kecewa. Apa anak ini tak punya cakra elemen angin? Seharusnya jika ia punya, cakra elemen angin bisa dengan mudah muncul di saat-saat darurat seperti ini.

Tidak ada cara lain, selain melakukan pemeriksaan menyeluruh di laboratorium untuk mengetahui apakah Satria Braja memiliki cakra elemen angin atau justru mempunyai potensi cakra elemen lain, pikir Mbah Putih. Sementara Satria Braja tergeletak di bawahnya meringis menahan pusing akibat benturan dengan tanah. []

SATRIA BRAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang