Sang Pangeran

562 18 0
                                    

Mata Arsi Arsanti memerah. Air matanya bercucuran. Punggung tangan kanannya merapat ke hidung, seakan menahan air mata agar tak berlinang di sekitar mulut tapi membiarkan pipinya basah oleh air mata. Kerut dahinya tampak menebal. Sorot matanya tertuju pada wajah Satria Braja yang tak kunjung membuka mata.

Bibirnya yang tertutup telapak tangan komat-kamit seperti merapalkan mantra. Namun tak ada suara yang keluar. Dadanya sesak. Tenggorokannya terasa kering. Pikirannya kalut. Bingung. Sedih. Marah.

Ia teringat kejadian 12 tahun lalu saat Satria Braja berumur dua tahun. Saat itu, seekor lebah sampat menyengat kaki Satria Braja. Demam tinggi menyerang. Seharian tak turun. Tapi, Satria Braja kecil juga tak bergerak, tak berkedip, hanya diam dengan tenang. Untung sang bapak, tahu penyebab penyakit aneh itu sehingga bisa mencarikan obat.

"Tapi aku hanya wanita biasa, bukan seorang pendekar seperti bapakmu. Bahkan, sampai sekarang aku tidak tahu bunga apa yang dibawakan oleh bapakmu dari desa seberang. Namun, aku menyebutnya bunga penukar nyawa."

Ucapannya itu justru membuat dirinya sendiri semakin berlinangan air mata. Tangan kanannya bergerak ke depan dada. Tangan kirinya menggenggam erat tangan kanan. Bibirnya yang sejak tadi tertutup telapak tangan, kini nampak dengan linangan air mata.

"Sebab sepekan setelah dirimu sembuh, bapakmu terbunuh. Namun, aku tak pernah menceritakan kejadian yang sebenarnya karena aku tak ingin ada sedikit pun dendam di hatimu yang suci. Aku tak ingin dirimu merasakan apa yang aku rasakan. Meski berusaha merelakan kematian ayahmu, tapi api dendam tak mampu padam sepenuhnya. Aku tak ingin hidupmu dipenuhi dendam."

Air mata terus mengalir tanpa henti. Arsi Arsanti memandangi sosok Satria Braja yang terbaring tanpa gerak. Dipandanginya dari ujung rambut hingga ujung kuku.

"Bapakmu dulu pernah mengatakan bahwa kelak dirimu akan menjadi orang besar yang mampu menciptakan kedamaian di seluruh penjuru negeri. Aku percaya padanya, sama seperti aku yakin betul pada kata-katamu tentang impianmu menjadi senopati. Meski setiap kali kamu mengatakan impianmu itu, hatiku teriris. Luka menganga di hati seperti ditaburi air garam. Sebab, orang yang ingin kamu lindungi adalah pembunuh ayahmu, Sang Raja Bantala Nagara yang bergelar Gusti Prabu Astrabhumi. Ia dulunya merupakan saudara seperguruan bapakmu. Keduanya sangat akrab, seperti saudara kandung. Namun cinta terhadap wanita, tahta, dan harta membutakan segalanya. Sehingga saudara seperguruannya dibunuh demi memenuhi ambisi menjadi seorang raja."

Mata Arsi Arsanti memerah nanar. Tampak ada emosi yang membara. Kini, mata itu menatap jauh ke depan menembus jendela Bilik Pengobatan Padepokan Banteng Mukti. Dendam yang coba ia padamkan, justru membesar. Air matanya mendadak berhenti mengalir. Kedua tangannya yang sejak tadi berada di depan dada, bergerak turun berhenti di atas paha. Tangan mengepal. Mulut mengunci rapat. Ia menghirup nafas dalam-dalam. Lalu tersenyum. Senyum yang tak jelas maknanya.

"Menjadi ibu sekaligus ayah untukmu, sangat berat. Tapi aku harus kuat. Sebab aku yakin kelak kamu bisa menjadi senopati hebat. Tapi kamu tak boleh gila pada wanita, harta, dan tahta. Kamu tak boleh buta, jangan tunduk pada gemerlap dunia. Berjanjilah bahwa kamu tak akan mudah menyerah pada apa pun dan siapa pun. Termasuk pada takdir atau ajal. Kamu tak boleh mati semudah ini. Berjanjilah Satria Braja!"

Arsi Arsanti nyaris teriak ketika mengucapkan kalimat yang terakhir. Kedua tangannya menggenggam erat kedua bahu Satria Braja yang tergeletak di dipan. Arsi Arsanti menggoyang-goyangkan bahu anaknya. Satria Braja tetap nyenyak tak sadarkan diri.

"Jika kamu mampu bertahan dan sembuh, aku berjanji akan membelikanmu tempe. Kamu suka tempe, bukan? Kita sudah lama tak makan tempe, tapi kamu bilang tak akan lupa betapa lezatnya sepotong tempe. Aku berjanji akan membelikanmu tempe, bukan sepotong tapi sepiring penuh tempe jika kamu sembuh."

SATRIA BRAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang