Deburan ombak pecah terbelah oleh bebatuan besar di Tanjung Karang, daratan yang menjorok ke lautan di sebelah utara desa Jawi Bhumi. Jika diperhatikan dari peta wilayah kerajaan Bantala Nagara. Daerah Tanjung Karang mirip seperti jambul milik Semar. Peta wilayah kerajaan di bawah kekuasaan Prabu Astrabhumi memang mirip tokoh pewayangan bernama Semar dengan desa Jawi Bhumi laksana kepala.
Desa Kapi Bhumi seakan-akan sebagai tubuh bagian depan lengkap dengan jari tangan yang menuding ke depan. Lalu berseberangan dengan desa Kapi Bhumi terdapat desa Arima Bhumi sebagai tubuh bagian belakang dengan lekukan tangan yang satunya dan berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Pawaka Nagara dan Pawana Nagara. Di antara empat desa dan satu kota kerajaan Bantala Nagara, hanya desa Arima Bhumi yang tidak punya laut. Di bagian selatan atau di bawah desa Kapi Bhumi dan Arima Bumi adalah pusat kerajaan yakni kota Garuda Bhumi yang menjadi perut Semar. Di bawahnya lagi desa Danta Bhumi, desa paling ujung selatan yang berbatasan dengan kerajaan Baruna Nagara.
Aryasuta Cadudasa menatap tajam gulungan ombak yang datang ke arahnya. Ombak yang datang menyerupai bukit besar yang bergerak cepat hendak menghantam tubuh Aryasuta Cadudasa yang berdiri di bebatuan Tanjung Karang. Putra kedua sang raja itu berniat membelah ombak dengan Ajian Tinjugeni berelemen api yang coba ia sempurnakan. Satu pukulan ia lesakkan ke arah gulungan ombak setinggi bukit. Ombak tak terbelah, justru ia terhempas. Ombak besar dan tinggi itu menggulung sang pangeran.
Ia terseret puluhan langkah ke belakang hingga bibir pantai berpasir putih. Ia batuk, tersedak, dan memuntahkan banyak air dari dalam dada. Tubuhnya basah kuyup diterjang ombak. Tergeletak begitu saja di atas pasir lembut. Lemas dan terkuras tenaganya. Namun, sorot matanya menunjukkan semangat pantang menyerah.
"Sialan, Ajian Tinjugeni saja belum bisa aku lakukan dengan baik. Bagaimana bisa aku menandingi kehebatan Kakanda Aryasetya Danadyaksa," gerutu sang pangeran yang mencoba berdiri kembali.
Kabar tentang kehebatan Aryasetya Danadyaksa yang mengalahkan pendekar kelas atas Ragasarpa telah menyebar hingga pelosok desa di wilayah kerajaan Bantala Nagara. Semua orang membicarakan kesaktian anak sulung sang raja. Aryasetya Danadyaksa digadang-gadang bakal menjadi putra mahkota. Kabar tersiar begitu cepat sebagaimana kecepatan angin. Berita menyebar dari mulut ke mulut para warga dan pihak kerajaan.
Sebenarnya, Aryasuta Cadudasa tak terlalu mengharap menjadi putra mahkota. Ia sadar tradisi kerajaan biasanya menunjuk anak sulung menjadi putra mahkota atau yuwaraja. Namun, ia tak habis pikir dengan kekuatan tersembunyi yang dimiliki kakaknya. Bagi Aryasuta Cadudasa, sang kakak sudah berada di level yang jauh darinya. Bagaimana tidak, ia dianggap sudah mampu mengalahkan pendekar yang menguasai elemen cahaya dengan level tinggi hingga bisa menyembunyikan pulau di tengah danau Gajah Mungkur dengan teknik ilusi dalam waktu yang lama. Pasti cakra yang dikeluarkan sangat besar, pikir sang pangeran.
Aryasuta Cadudasa menyimpulkan bahwa peningkatan kekuatan Aryasetya Danadyaksa mencapai 100 kali lebih besar dari sebelumnya. Bahkan, ia mengalahkan Ragasarpa dan ular jadi-jadian hanya dalam satu kali tebasan memotong leher ular raksasa dan menghujamkan pedang ke leher Ragasarpa. Tentu, Aryasetya Danadyaksa memiliki kecepatan yang luar biasa hebat hingga pendekar sekelas Ragasarpa tak mampu menghindar.
Awalnya, tak banyak yang tahu tentang kehebatan Ragasarpa, mungkin hanya pendekar yang sudah melalang buana dan telah berhubungan dengan kerajaan lain, terutama kerajaan Baruna Nagara yang tahu seberapa terkenalnya Ragasarpa. Sebenarnya nama Ragasarpa menjadi viral bukan karena kehebatan pendekar itu, melainkan karena kabar kehebatan Aryasetya Danadyaksa yang mampu mengalahkan pendekar dari Baruna Nagara. Padahal setiap kali latih tanding di istana kerajaan, Aryasuta Cadudasa selalu lebih unggul dalam hal kekuatan dan keterampilan bertarung termasuk juga pengendalian cakra. Namun memang Aryasetya Danadyaksa menang dalam hal wawasan pengetahuan dan strategi bertarung. Sejak kecil sang raja mendidik anak-anaknya untuk terus bersaing memperkuat diri dengan keunggulan masing-masing.
Pangeran Aryasuta Cadudasa berdiri kembali. Butiran pasir dan buih ombak di tepi pantai menjadi saksi tekad kuat sang pangeran. Ia berlari menuju batu besar yang menjulang agak di tengah laut. Ia berlari di atas air lalu melompat dan mendarat tepat di atas batu tempatnya menantang ombak sebesar bukit. Ia kembali mencoba membelah gulungan ombak dengan Ajian Tinjugeni. Kali ini, ia mencoba mengumpulkan seluruh energi dengan elemen api juga semangat yang berlipat dan tekad tak ingin kalah dari sang kakak. Sorot matanya memancarkan keseriusan untuk menyelesaikan latihan dengan kemenangan, sebuah misi yang sangat sulit dan hampir mustahil yakni membelah ombak besar dengan pukulan cakra berelemen api. Sebab, api dan air tak pernah bisa menyatu. Api dan air selalu bermusuhan, tak pernah jadi kawan. Dan seringkali, api kalah melawan air. Api tak pernah bisa membakar air, namun air hampir selalu berhasil memadamkan api.
Deru deburan ombak menggema. Gerombolan gulungan ombak besar tampak menyasar tubuh Aryasuta Cadudasa. Ia konsentrasi menggali seluruh energi dari cakra berelemen api yang bersumber dari bagian di sekitar pusar. Ia menyala kuning terang di sekeliling tubuhnya. Auranya menyala beraduk dengan amarah yang meluap. Api membara dari kepalan tangannya, semakin membesar dan terus membesar.
Ombak datang, ia sambut dengan pukulan. Kobaran api di kepalan sang pangeran padam. Tubuhnya terhempas kembali ke bibir pantai. Dengan tubuh lemas, ia mencoba berdiri, tapi ia gagal. Terlalu banyak cakra yang dikeluarkan. Aryasuta Cadudasa hanya mampu merangkak. Jari tangan menggenggam pasir pantai yang basah. Ia marah atas kegagalan latihan Ajian Tinjugeni. Dalam keputusasaan, Aryasuta Cadudasa teringat pada kekalahan dari komplotan bertato gagak hitam yang salah satunya berhasil dikenai Ajian Tinjugeni oleh sang pangeran.
Ia teringat pada ajakan pimpinan komplotan yang menawarkan untuk bergabung agar menjadi lebih kuat. Selain itu, mereka juga menawarkan impian tentang dunia tanpa penindasan, hidup tanpa penderitaan, dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Ia mulai penasaran terhadap komplotan misterius itu. Lebih-lebih, Aryasuta Cadudasa ingin menjadi lebih hebat dan tak ingin tertinggal jauh oleh kekuatan sang kakak yang dianggap beberapa level di atasnya.
"Sepertinya aku harus bergabung dengan kelompok yang salah satu dari mereka bertato gagak hitam. Mereka kelompok yang menarik dan mungkin bisa membuatku lebih kuat," gumam sang pangeran pada dirinya sendiri.
Ia juga tidak lupa bagaimana kemurahan hati komplotan tersebut yang telah memberinya kepingan uang rampokan dari seorang pemabuk di jalan. Baginya, terlalu banyak sisi menarik pada komplotan Gagak Hitam, termasuk dengan mudahnya mereka membuat babak belur Pangeran Aryasuta Cadudasa. Ia juga tahu desas-desus warga desa menyebut mereka sebagai Pendekar Bayangan yang begitu dipuji oleh rakyat kecil.
"Aku akan mencari mereka dan bergabung dengan mereka." []
KAMU SEDANG MEMBACA
SATRIA BRAJA
Fantasy[Jika ada yang memiliki KBM App jangan lupa subcribe dan follow ya. Sejak 20 Agustus 2021, saya pindah lapak. Sekaligus mulai melanjutka menulis kembali setelah satu tahun vacum. Mohon dukungannya. Nama pena yang aku pakai WZ Rendra] Sebagai calon p...