Cinta Pandangan Pertama

285 12 0
                                    

Satria Braja masih tergeletak tak berdaya di Balai Pengobatan Padepokan Banteng Mukti. Wajahnya memutih pucat. Berhari-hari ia tak sadarkan diri akibat ditanduk kerbau saat latihan pengendalian cakra. Menurut tabib muda nan cantik jelita, Kirana Maheswari, penyakit calon pendekar tingkat sanak itu berhubungan dengan zodiak kuno atau wuku kelahiran Satria Braja. Ia berwuku Tolu yang sangat apes apabila terkena sengatan, gigitan, maupun tandukan hewan. 

Kirana Maheswari menduga Satria Braja memiliki cakra elemen angin yang terhambat  saat terkena tandukan kerbau. Aliran cakra Satria Braja menjadi tak lancar dan kacau. Bahkan, insiden tersebut menyebabkan Satria Braja koma. Masih menurut prediksi dari Kirana Maheswari, hari ini merupakan penentuan bagi Satria Braja apakah ia mampu ditolong atau justru insiden tandukan kerbau menyebabkan Satria Braja meninggal dunia. Nyawa Satria Braja berada di tangan Kirana Maheswari. 

Pendekar tingkat sanak yang punya keahlian khusus di bidang ketabiban dan pawukon itu telah pulang membawa bunga Puspa Rasa yang diyakini mampu menjadi obat dari penyakit misterius Satria Braja. Bunga air tersebut berhasil ia ambil dari desa terjauh di Kerajaan Bantal Nagara, yakni desa Danta Bhumi. 

Bola mata coklat kebiru-biruan gadis itu bergerak gesit mencermati setiap tanaman yang ia racik bahan baku bunga Puspa Rasa. Ia memotong tangkai bunga tepat di bawah kelopak Puspa Rasa. Lalu mencampurkan beberapa tetes dari bekas potongan itu pada secangkir ramuan yang telah ia racik. 

Wajah-wajah penuh cemas tampak dari mereka yang berada di Bilik Pengobatan Padepokan Banteng Mukti, kecuali Istungkara yang tampak tetap tenang. Mbah Putih yang merupakan salah satu pendekar tingkat tinggi di padepokan tersebut tak mampu menyembunyikan rasa cemas. Ia mengkhawatirkan nyawa Satria Braja. Ia merindukan momen-momen konyol bersama anak itu. Namun, ia juga percaya Kirana Maheswari bisa menyelamatkan anak malang yang diseruduk kerbau itu. 

Sementara ibu Satria Braja, Arsi Arsanti terus menangis. Mata memerah. Pipi tak pernah kering dari air mata. Kening mengerut. Mulut mengunci. Tubuh gemetar. Di depannya, tampak sepiring penuh tempe. Hidangan paling penting dan paling berharga bagi Arsi Arsanti saat ini. Bagi wanita itu, sepiring tempe seharga dengan nyawa anaknya. Itu adalah janji sekaligus tebusan atas kemungkinan mukzijat yang bakal terjadi.

Sepiring tempe itu juga sudah menjadi mukzijat bagi Arsi Arsanti. Di tengah kebingungannya untuk mendapatkan uang agar mampu beli tempe, tiba-tiba komplotan Gagak Hitam menghampiri rumah kecilnya dan meletakkan beberapa keping uang rampokan di depan pintu rumah. Padahal saat itu, Arsi Arsanti hanya punya dua pohon singkong sebagai persediaan makanan dalam satu pekan ke depan.

Kini, satu-satunya harapan Arsi Arsanti adalah agar Satria Braja lekas membuka mata dan sembuh agar bisa menikmati makanan kesukaan anaknya, yakni tempe goreng.

Bukankah kamu suka tempe? Meski sudah lama tak makan tempe, kamu tak pernah lupa rasa tempe bukan? Kamu mungkin lupa rasa daging, tapi kamu tak pernah lupa betapa lezatnya sepotong tempe goreng. Kata-kata ini hendak ia sampaikan, namun hanya tertahan di tenggorokan. Tak ada satu pun kata yang keluar.

Guru Ambarwati, juga cemas menantikan apakah Kirana Maheswari berhasil menyelamatkan Satria Braja. Tiga hari tiga malam, Kirana Maheswari telah menempuh saat-saat berbahaya demi Satria Braja. Gadis itu mendapat tugas sekaligus hukuman untuk mengambil bunga Puspa Rasa yang penuh dengan bahaya, meski ia didampingi oleh Mbah Putih dan Istungkara tetap saja berbagai gangguan dan rintangan harus mereka lewati.

Hukuman untuk mengambil Puspa Rasa juga tidak lepas dari tekad Kirana Maheswari yang bertekad menyembuhkan penyakit misterius anak itu, bahkan Kirana Maheswari nekat memasuki ruang rahasia dengan menyelinap ke Pusat Pustaka Rahasia Padepokan yang berada di Joglo Agung untuk membuktikan prediksinya bahwa penyakit ini berkaitan dengan wuku. Padahal hanya pendekar khusus dengan tingkat mbah dan ketua yang boleh memasuki ruangan tersebut.

Ia tahu bahwa melihat wuku seorang pendekar merupakan kesalahan besar. Sebab, ia akan mengetahui kelemahan pendekar yang bersangkutan hanya dengan mengetahui wuku pendekar itu. Namun, ia tetap bersikeras melanggar aturan itu demi menyelamatkan Satria Braja. Bahkan, ia terpaksa bertarung dengan Mbah Putih karena ketahuan saat melancarkan aksi. Akibatnya, ia mendapat hukuman pengasingan dan pengusiran dari padepokan. Ia boleh kembali ke padepokan apabila membawa bunga Puspa Rasa dan berhasil menyelamatkan Satria Braja.

Ketika Kirana Maheswari meminumkan ramuan racikan yang telah dicampur tetesan air dari bungan Puspa Rasa ke mulut Satria Braja, semua orang di ruangan tersebut menahan nafas sambil berharap pada kesembuhan Satria Braja, termasuk Istungkara yang diam-diam berdoa agar rivalnya itu segera sembuh dan pulih kembali. Bagi Istungkara, Satria Braja adalah orang paling menyebalkan yang ia temui. Meski begitu, tak ada sedikit pun benci terhadap anak itu. Satria Braja merupakan orang yang hampir tiap pekan menantangnya untuk bertarung. Istungkara telah memenangi 48 kali pertarungan dari 48 tantangan yang diajukan oleh Satria Braja. Namun, diam-diam Istungkara salut pada perjuangan tak kenal menyerah dari Satria Braja. Ia berharap Satria Braja tak mati semudah ini.

Mereka menanti reaksi dari Satria Braja setelah meneguk obat racikan Kirana Maheswari. Perlahan-lahan, Satria Braja membuka mata. Anak berwuku Tolu itu mengira, ia sudah meninggal dunia dan hidup di surga dan mendapat ganjaran seorang bidadari cantik jelita. Ia perempuan berwajah bulat. Tapi tak bulat-bulat amat. Agak sedikit memanjang, namun belum oval. Berbibir ranum dan merekah. Tebal tapi mempesona. Hidung tak mancung dan tak pesek pula. Pas. 

Rambutnya hitam terurai. Matanya sungguh indah. Kelopaknya bulat benar dengan warna kebiru-biruan sedikit coklat tak seperti penduduk bumi. Bulu matanya panjang, lentik, dan nakal. Dan alisnya aneh. Lebat tapi tak beraturan. Tak simetris pula antara kanan dan kiri. Kedua pangkal alis menimbulkan efek gradasi. Ujung alis lebat tapi pangkal alis yang hendak bertemu justru menipis. Pangkal alis bagian kanan, malahan tak lurus tapi sedikit melingkar. 

"Oh bidadariku, kau cantik sekali. Aku mau menciummu," kata Satria Braja sambil bibirnya bergerak maju menuju wajah cantik Kirana Maheswari. 

Plaaaaaakkkk...

Bukan bibir Satri Braja yang mendarat di pipi mulus Kirana Maheswari, alih-alih tamparan keras tangan pendekar tingkat sanak itu yang mendarat di pipi Satria Braja. Pipi Satria Braja memerah nampak jelas bekas telapak tangan Kirana Maheswari. Ia baru tersadar bahwa ia belum mati, bukan pula di surga tapi di bilik pengobatan padepokan. Ia juga menyadari bahwa kecantikan gadis di depannya tak kalah dari kecantikan bidadari. 

Suara tawa tiba-tiba menyesaki bilik tersebut melihat insiden Satria Braja yang ditampar oleh Kirana Maheswari, bahkan Arsi Arsanti turut tertawa keras. Sebuah tawa antara insiden lucu dan haru. Sementara Istungkara tidak tertawa tapi menatap Satria Braja penuh cemburu. Satria Braja sendiri kebingungan seperti orang linglung ditambah rasa malu karena bukan bidadari yang hendak ia cium, melainkan Kirana Maheswari. Namun, ia tahu satu hal bahwa mulai detik itu, ia menambatkan hatinya pada gadis cantik murid Guru Ambarwati itu. 

Jangankan hanya tamparan dan ditertawakan, miskin tujuh turunan rela kujalani demi Kirana Maheswari, pikirnya. Hari itu, Satria Braja merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama. []

SATRIA BRAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang