Wuku

534 17 0
                                    

Sehari semalam Satria Braja tak sadarkan diri setelah insiden ditanduk kerbau. Satria Braja dirawat oleh seorang pendekar perempuan tingkat sanak di Bilik Pengobatan Padepokan Banteng Mukti. Yakni, Kirana Maheswari.

Ia perempuan berwajah bulat.Tapi tak bulat-bulat amat. Agak sedikit memanjang, namun belum oval. Berbibir ranum dan merekah. Tebal tapi mempesona. Hidungnya tak mancung dan tak pesek pula. Pas. Rambutnya hitam terurai. Matanya sungguh indah. Kelopaknya bulat benar dengan warna kebiru-biruan sedikit coklat tak seperti penduduk bumi. Bulu matanya panjang, lentik, dan nakal. Dan alisnya aneh. Lebat tapi tak beraturan. Tak simetris pula antara kanan dan kiri. Kedua pangkal alis menimbulkan efek gradasi. Ujung alis lebat tapi pangkal alis yang hendak bertemu justru menipis. Pangkal alis bagian kanan, malahan tak lurus tapi sedikit melingkar. Oleh karena itu beberapa kawan, memanggilnya Perempuan Beralis Ulat Bulu.

Sepotong kain membalut tubuhnya dari dada ke perut, disebut kemben. Warna kembennya biru muda, serasi dengan bola matanya yang kebiru-biruan. Wanita memang pandai memadukan warna pakaian. Sementara kain jarik berupa batik berwarna biru muda dengan motif bunga menutup bagian perut ke bawah hingga mata kaki.

Kirana Maheswari menahan rasa penasaran terhadap sakit yang diderita Satria Braja. Ia sangat heran dengan penyakit anak ini. Sebab, jika dilihat dari lukanya tidak terlalu parah hanya sedikit lecet di sekitar pusar dan bagian dada lebam. Seharusnya bagi seorang pendekar yang sudah belajar pencak silat satu tahun luka semacam ini bisa sembuh dalam waktu yang tak lama. Namun, Satria Braja belum sadar selama hampir dua hari satu malam. Ia koma.

"Bagaimana kondisi Satria Braja, Nak Kirana Maheswari," tanya Mbah Putih yang tiba-tiba nyelonong masuk ke Bilik Pengobatan. Sontak, gadis cantik itu terkejut.

Ketika ia menoleh, Mbah Putih sudah berdiri di belakangnya. Kirana Maheswari langsung menghaturkan salam sembah sebagai bentuk penghormatan kepada Mbah Putih. Ia menempelkan kedua telapak tangannya tepat di depan dada sambil membungkuk rendah.

"Keadaannya semakin memburuk, Mbah Putih. Jika seperti ini terus, dia tidak akan mampu bertahan selama tiga hari ke depan. Ia tak pernah bangun, sekadar menggerakkan jari saja ia tak mampu. Namun, nafasnya masih normal. Ia seperti orang tidur," jawab Kirana Maheswari dengan lembut namun penuh rasa khawatir.

Mbah Putih hanya diam saja sambil membelai jenggot. Matanya menatap tubuh Satria Braja yang tergeletak di atas dipan.

"Nyuwun sewu, Mbah Putih. Kalau boleh tahu bagaimana dia bisa menderita sakit misterius seperti ini?" tanya Kirana Maheswari untuk mencari jawaban atas rasa penasaran yang sempat dipendam.

"Ia hanya diseruduk kerbau."

"Apa? hanya diseruduk kerbau," sahut Kirana Maheswari karena terkejut.

"Seharusnya ia sudah sadar sejak kemarin."

"Betul, Mbah Putih. Jika hanya diseruduk kerbau seharusnya ia hanya pingsan sebentar. Awalnya aku kira ia terkena racun, namun ternyata setelah aku periksa tidak ada racun di tubuhnya."

Mbah Putih melirik ke arah Kirana Maheswari.

"Aku percaya, kau mampu menyembuhkan anak ini. Kau salah satu pendekar muda dengan ilmu ketabiban terbaik di padepokan ini," sanjung Mbah Putih kepada Kirana Maheswari.

"Aku akan melakukan yang terbaik, Mbah Putih."

Mbah Putih membalikkan badan dan berjalan keluar Bilik Pengobatan Padepokan Banteng Mukti.

***

Cahaya bulan purnama menembus celah-celah dedaunan pohon Trembesi yang rindang serupa payung. Di salah satu dahan pohon itu tampak Kirana Maheswari sedang melamun. Air mukanya tampak tegang bercampur sedih.

SATRIA BRAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang